Badan yang dibebani dengan pembuatan kerangka kerja untuk perjanjian iklim global akan menghitung emisi dari degradasi lahan gambut, sumber dari perkiraan kasar 6 persen emisi gas rumah kaca.
Keputusan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) ini memaparkan pekerjaan dasar untuk pengukuran baru untuk melindungi dan merestorasi lahan basah, ujar Wetlands International.
“Setelah emisi dan pemindahan lahan basah bisa dimasukkan di bawah Protokol Kyoto arus pembiayaan keseluruhan untuk pengelolaan lahan basah akan berubah,” ujar Susanna Tol dari Wetlands International, kelompok advokasi untuk perlindungan lahan basah. “Membuat ekosistem penting ini kembali basah dan menerapkan penggunaan yang berkesinambungan seperti paludiculture (pertanian basah) akan menarik secara finansial.
Pengeringan dan pembabatan hutan gambut di Kalimantan Tengah. Foto oleh Rhett A. Butler. |
Hingga kini, emisi yang dihitung di bawah pengarahan metodologi IPCC sebagian besar mengabaikan pengurangan emisi dari restorasi lahan basah. Peneliti telah memperlihatkan bahwa menjadikan lahan gambut kembali basah adalah salah satu pendekatan paling efektif biaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Ekosistem Gambut
Lahan gambut, terbentuk dari timbunan organik yang terdiri sebagian atas zat-zat tumbuhan yang membusuk yang terakumulasi selama ratusan tahun, menutupi lebih dari 400 juta hektar dari lahan di seluruh dunia. Kebanyakan lahan gambut tumbuh di permafrost jauh di utara, meski beberapa ditemukan di dataran rendah tropis Asia, terutama di hutan rawa di Indonesia dan Malaysia. Lahan gambut merupakan reservoir karbon raksasa, menurut Wetland Internationals. Bagaimanapun, jika lahan gambut dikeringkan, ditebang, atau dibakar, karbon yang tersimpan ini akan dilepaskan ke atmosfer, berkontribusi pada perubahan iklim.
Setiap tahun ratusan dari ribuan hektar lahan gambut dikeringkan dan dibabat untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu di Indonesia dan Malaysia. Umumnya, pengembang menggali saluran untuk mengeringkan lahan, mengeluarkan kayu-kayu berharga, kemudian menghabiskan vegetasi menggunakan api. Di tahun-tahun yang kering, kebakaran ini bisa berlangsung selama bulanan, menyumbangkan “kabut” yang biasa mewabahi Asia Tenggara. Kebakaran di lahan gambut biasanya bertahan lama, karena mereka dapat membara di bawah tanah untuk tahunan meski setelah api di permukaan dipadamkan oleh hujan musiman.
Pembakaran merupakan sumber dari sekitar 70 persen emisi dari lahan gambut, namun mengeringkan lahan gambut saja juga berkontribusi pada pemanasan global – jika terekspos pada udara, gambut teroksidasi dengan cepat, membusuk, dan melepaskan karbon dioksida. Degradasi dan perusakan hutan yang tumbuh di atas lahan gambut merupakan sumber lebih lanjut dari emisi.
Namun degradasi lahan gambut tidak hanya terbatas pada Asia Tenggara. Gambut dikeringkan untuk pertanian dan perhutanan dan pertambangan untuk hortikultur dan bahan bakar di Eropa dan Cina. Emisi dari negara-negara U.E mencapai 174 juta ton per tahun sementara 160 juta ton per tahun di Rusia, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan tahun lalu. Di Sub-Sahara Afrika (tidak termasuk Afrika Selatan) emisi gambut setara dengan 25% seluruh emisi bahan bakar fossil. Secara keseluruhan, emisi lahan gambut dunia telah meningkat lebih dari 20 persen sejak 1990.
Lebih dari sekedar berkontribusi pada perubahan iklim, perusakan lahan gambut di Indonesia menempatkan populasi lokal pada resiko yang lebih besar akan banjir. Lahan gambut adalah alat alam untuk mengendalikan banjir, bertindak seperti spons untuk menyerap air hujan dan timpasan dalam jumlah besar, sambil mengurangi ancaman erosi.