Konsesi industri penebangan di pulau-pulau lepas pantai Sumatera mengancam untuk merusak komunitas industri yang berkesinambungan yang mungkin memegang kunci untuk melindungi lahan gambut Indonesia yang padat karbon, tapi hampir punah.
Ketiga konsesi tersebut, yang meliputi 72.280 hektar lahan gambut dan hutan tropis di Kepulauan Meranti, kepulauan di utara Semenanjung Kampar Sumatera, dimiliki oleh Riau Andalan Pulp and Paper / Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Lestari Unggul Makmur dan Sumatera Riang Lestari Ltd (SRL), perusahaan yang menjual bubur kalu ke APRIL. Kelompok lingkungan hidup setempat mengatakan bahwa izin untuk mengembangkan lahan, yang sebelumnya dizonakan untuk penebangan, diubah menjadi izin penanaman untuk industri (Hak Pengusahaan Hutan / HPH) tanpa publikasi yang sesuai, sebuah persyaratan di bawah Undang-Undang Perhutani Indonesia. LSM-LSM dan masyarakat telah memunculkan pertanyaan lain berkaitan dengan legalitas keluarnya izin tersebut dan mengeluh bahwa mereka tidak dimintai pendapat.
Anehnya kesepakatan tersebut – ditambah dengan dampak lingkungan dan sosial seperti yang dibayangkan – memacu oposisi setempat yang kuat atas kesepakata tersebut. Bulan Desember 2009, hampir 30.000 orang dari daerah yang terkena dampaknya menandatangani petisi yang meminta pemerintah untuk mencabut izinnya. WALHI, LSM Indonesia, membantu memasukkan keluhan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Kementerian Kehutanan. Penduduk setempat masih menunggu keputusannya.
Di spanduk tertulis: “Kami seluruh masyarakat Desa Sungai Tohor dan sekitarnya menolak keberadaan HTI PT. LUM.”
|
Sementara itu, SRL masih meneruskan proyeknya. Sebuah penyelidikan oleh WALHI di bulan Maret menukan sebuah jalah baru, kanal drainase, dan pembukaan hutan. Kunjungan selanjutnya di bulan Juli menemukan bahwa operasi ini terus berjalan, meski adanya oposisi dari masyarakat lokal.
Penduduk setempat memiliki banyak kekhawatiran atas konsesi tersebut. Proyek tersebut akan merusak lahan gambut padat karbon, memicu emisi karbon substansial, menurunkan permukaan air dan meningkatkan resiko kebakaran, menghilangkan wilayah penangkapan ikan dan perburuan serta memperburuk erosi di pantai. Namun mungkin yang paling berbahaya, persekongkolan tersebut akan merusak sumber kunci pendapatan untuk masyarakat setempat: memanen palem sagu. Masyarakat Kepulauan Meranti telah membudidayakan sagu, palem setempat, selama paling tidak ratusan tahun, membuat mereka bisa tumbuh lebih tinggi dan memiliki zat tepung yang lebih kaya kalori. Zat tepung sagu diekspor ke Jawa dan Malaysia, di mana di sana diolah menjadi tepung dan diproses menjadi makanan. Masyarakat Sungai Tohor di Pulau Tebing Tinggi saja menghasilkan sekitar 500 ton pasta sagu, bernilai sekitar USD 10.000 per bulan.
Kayu-kayu sagu untuk diproses. |
“Ini adalah contoh yang baik dari industri berbasis masyarakat yang bersinambungan, layak dan adil,” ujar Hariansyah Usman dari Walhi Riau. “Konsesi ini mengancam akan menghapus industri ini dan menunjukkan bagaimana sistem Indonesia saat ini menginjak-injak penghidupan dan hak masyarakat, iklim, hidrologi, dan keanekaragaman hayati. Ini juga memunculkan pertanyaan serius mengengai komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi dari penggundulan hutan.”
Usman mengatakan bahwa alih-alih terus mendukung minat kehutanan yang kuat yang memperkaya diri mereka sendiri dengan mengorbankan masyarakat Indonesia, pemerintah Indonesia seharusnya melihat masyarakat industri sagu sebagai model untuk digunakan saat mereka bergerak menuju targetnya untuk mengurangi penggundulan hutan.
Ini salah satu jenis pembangunan rendah karbon yang seharusnya didukung oleh Norwegia dengan komitmen milyaran dolarnya pada lahan gambut dan hutan Indonesia baru-baru ini,” lanjut Usman.