Kesenjangan adat istiadat tradisional muda versus tua di Tana Toraja Indonesia
Kesenjangan adat istiadat tradisional muda versus tua di Tana Toraja Indonesia
Kebangkrutan Budaya: Menjaga Sejarah pada pada Biaya yang Luar Biasa di Tana Toraja Sulawesi
Tina Butler
Oktober 19, 2006
Masyarakat Toraja di Sulawesi Tengah, Indonesia, telah lama dikenal atas kemewahan perayaan mereka akan kematian di pemakaman, kuburan, dan patung-patung. Tak jauh di luar Rantepao, ibukota daerah Tana Toraja, pemakaman yang mahal dan penuh pertunjukan kerap dilakukan. Namun secara meningkat, ritual seperti ini memecah generasi. Seperti di kebudayaan asli lainnya di dunia, keretakan yang tumbuh di antara yang tua dan yang muda mempertanyakan dasar tradisi mereka.
Masyarakat Toraja, atau masyarakat dataran tinggi, telah menjaga warisan kebudayaan sebelum dikenalkannya Kristiani melalui misionaris di tahun 1600. Selama berabad-abad, masyarakat Toraja telah memperlakukan kematian dengan perayaan besar, melalui ritual yang dramatis dan pemakaman yang rumit. Masyarakat Toraja memakamkan yang meninggal dengan berbagai cara yang impresif dan tidak biasa: di batu, muka batu kapur, kuburan menggantung, gua, dan pohon. RUang-ruangnya dipahat dengan tangan di batuan, sebuah proses yang memakan waktu hingga satu tahun untuk diselesaikan dan biasanya mahal. Tanda kuburan bervariasi dari pintu kayu sederhana hingga tau tau yang penuh hiasan, atau patung kayu yang dipahat. Bayi dikuburkan di rongga-rongga pohon dan mayat mereka terserap oleh kulit kayu yang hidup.
Sementara menjaga tradisi budaya ini penting bagi masyarakat Toraja, biaya pemakaman biasa mereka sangat besar. Di tengah jantung pertikaian antara yang muda dan yang tua dari Toraja, terdapat masalah ekonomi pemakaman. Praktek pemakaman begitu mewah dan mahal hingga banyak keluarga yang terjerat hutang untuk pembayaran perayaan pemakaman dari orang yang mereka cintai. Hutang ini dibawa melalui generasi, sehingga anak-anak mereka pun sering kali lahir dengan hutang berkaitan dengan pemakaman orang yang belum pernah mereka kenal dan harus menghabiskan seluruh hidup mereka berusaha untuk membayar. Pemakaman mengembangbiakkan kemiskinan, namun kepentingan sosialnya begitu tinggi sehingga keluarga akan menyerahkan apapun dari rumah hingga peralatan pertanian dan pendidikan yang lebih tinggi untuk anak-anak mereka – semua untuk membayar biaya pemakaman yang merisaukan tapi sesuai.
Makam dipahat di muka batu di Lembo [atas], rumah-rumah dengan atap miring di Palawa, desa tradisional di Tana Toraja [bawah]. Kuburan yang dipotong dari batu dinamakan bori. Foto oleh Rhett Butler. |
Pemakaman sangat berbiaya tinggi sehingga banyak keluarga menghindar untuk memberitahu keluarga jauh dan masyarakatnya bahwa seseorang sudah meninggal hingga mereka mampu membiayai pemakaman yang sesuai. Di desa Lembo, seorang wanita ternyata telah membagi kamar tidurnya dengan suaminya yang telah dibalsem selama dua tahun tanpa ada rencana pemakaman. Bagi anggota keluarganya yang tinggal di pulau lain, sang istri memberitahu bahwa suaminya hanya sakit. Kisah semacam ini bukan tidak biasa; di Toraja, seseorang tidak mati kecuali mereka dimakamkan. Hingga saat itu, mereka hanya sakit atau tidur.
Apa yang membuat pemakaman ini begitu mahal, sebagian besar adalah karena penyembelihan hewan dan pesta selanjutnya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari acara yang tepat. Jumlah kerbau air yang disembelih untuk perayaan pemakaman secara langsung proporsional dengan kekayaan keluarga yang ditinggalkan. Pada pemakaman di tahun 2004, permintaan keluarga untuk menyembelih lebih dari 50 kerbau air ditolak oleh pemerintah lokal berdasarkan alasan karena hampir keseluruhan populasi kerbau air harus dibunuh, dan masyarakat tidak akan dapat menggantikan stok secepat itu. Keluarga kaya tersebut berkompromi dengan hanya 30 kerbau dan babi yang hampir dua kali banyaknya. Sebagai usaha untuk menghentikan praktek penyembelihan kerbau yang terlalu banyak, pemerintah Indonesia telah menerapkan pajak pada setiap hewan yang dibunuh dan mensyaratkan bahwa satu kerbau diberikan masing-masing kepada pemungut pajak dan gereja setempat. Dengan kerbau yang satu ekornya mencapai harga USD 400, pajak membuat praktek ini semakin sulit dilakukan; bagaimanapun, penyembelihan terus berlangsung. Tanduk dari kerbau yang disembelih di pemakaman ditumpuk di rumah-rumah perayaan sebagai pengingat pada peristiwa dan penegasan akan kekayaan dan status keluarga tersebut.
Pemakaman tidak hanya merupakan acara bagi keluarga dan masyarakat, namun juga untuk turis. Semua pemakaman di Tana Toraja harus didaftarkan di pemerintah lokal dan kemudian di departemen pariwisata, sehingga petunjuk wisata tetap mengetahui perayaan pemakaman yang mungkin bisa dilihat turis ketika mereka berkunjung. Dengan cara ini, pemakaman memberikan pendapatan bagi masyarakat lokal, bahkan ketika mereka terus memiskinkan keluarga penyelenggara setempat. Saat turis mengunjungi acara ini, biasanya mereka membawa donasi, hampir selalu sekarton rokok yang tidak akan membantu apa pun bagi keluarga ataupun membantu menutup pengeluaran luar biasa mereka.
Jauh di balik kesulitan keuangan ini, biaya yang ditanggung lingkungan dari pemakaman ini bukannya tidak signifikan, bila sangat diregionalisasikan. Sementara bambu yang bisa diperbaharui semakin banyak digunakan untuk struktur perumahan sementara, ancaman kayu kuat tropis dari hutan Sulawesi yang hilang dengan cepat digunakan untuk tau tau dan struktur perayaan sementara. Patung bertahan, namun dipercaya penggunaan platform dan rumah yang didirikan untuk pemakaman sebelumnya membawa sial, sehingga ini merupakan pemborosan yang signifikan. Kekurangan kayu keras berarti kayu bahkan diselundupkan dari pulau-pulau tetangganya, terutama Borneo, semakin memperparah tingkat penggundulan hutan Indonesia teramat parah.
Konflik umum dari masyarakat Toraja di Sulawesi adalah bagian dari tren yang lebih luas di mana tradisi yang dulunya dipandang sebagai bagian penting dari budaya masyarakat, kini dilihat dengan hina dan muak oleh generasi muda karena kesulitan yang diakibatkan di daerah-daerah dari Makassar hingga Madagaskar. Sementara Barat dan tetua suku menyesali hilangnya kebudayaan dan bahasa — PBB memperkirakan satu bahasa hilang rata-rata setiap dua minggu — kadang kala ada kekuatan yang lebih rumit yang menyebabkan transisi tersebut.
“Pemerintah dan turis menginginkan kami untuk melanjutkan tradisi keluarga, namun kadang kala biayanya terlalu tinggi,” ujar Pahral, warga desa di dekat Lembo, menggunakan pengalih bahasa. “Kami perlu lebih berpikir mengenai pendidikan dan beban di anak-anak kami, dan memberikan lebih sedikit bagi nenek moyang kami.”
JURNAL FOTO
(lebih banyak gambar)
Patung Tau-Tau di Londa Nanggala
Patung kayu orang yang telah meninggal di dinding tebing di Lembo Patung kayu orang yang telah meninggal di Lembo Karakteristik rumah tradisional di Tana Toraja Tetua desa meminum alkohol “tuak” dari potongan bambu. Kemiskinan merupakan masalah yang tersebar di Indonesia — lebih dari 80 juta dari 246 juta penduduk hidup dengan kurang dari USD 1 per hari. Foto oleh Rhett Butler. |