Site icon Conservation news

Indonesia Penghasil Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar Ke-3 Namun Pengurangan Penggundulan Hutan Tawarkan Kesempatan Besar, Kata Pemerintah

Emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia mencapai 2,1 milyar ton karbon dioksida di tahun 2005, membuatnya sebagai penghasil emisi gas rumah kaca ketiga di dunia, namun menawarkan kesempatan untuk mengurangi emisi secara substansial melalui konservasi hutan, pengurangan penggunaan api, perlindungan lahan gambut, dan manajemen hutan yang lebih baik, menurut laporan rangkaian penelitian yang dikeluarkan awal bulan ini oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) negara.



Penelitian tersebut – yang menganalisa emisi gas rumah kaca saat ini dan potensi pengurangan di delapan sektor: gambut, kehutanan, pertanian, tenaga, transportasi, minyak dan gas, semen dan bangunan – menemukan bahwa 85 persen emisi negara merupakan hasil dari penggunaan lahan: 41 persen dari degradasi dan perusakan lahan gambut, sementara 37 persen hasil dari penggundulan hutan (saat ini 800.000 hektar per tahun), degradasi melalui penebangan (1 juta hektar), dan kebakaran hutan. Diperkirakan emisi Indonesia akan mencapai 2,5 milyar ton CO2 pada tahun 2020 dan 3,3 milyar ton pada tahun 2030 dengan tingkat pertumbuhan saat ini.



Kurva Penurunan GRK Indonesia





Namun menggunakan kurva penurunan gas rumah kaca yang dikembangkan oleh McKinsey & Co, peneliti mengidentifikasi beberapa pilihan untuk memotong perkiraan emisi secara signifikan dengan biaya rendah. Lima kesempatan terbesar adalah mencegah penggundulan hutan (570 juta metrik ton di tahun 2030), mencegah kebakaran lahan gambut (310 m ton), mengelola dan memperbaiki lahan gambut (250 m ton), mengimplementasikan dan menegakkan manajemen hutan yang berkesinambungan (sustainable forest management / SFM) (240 m ton), dan menghutankan kembali hutan-hutan terbengkalai dan terdegradasi (150 m ton). Secara keseluruhan, penganalisa menyimpulkan bahwa manajemen lahan yang lebih baik dapat memotong emisi hingga 1,9 milyar ton pada tahun 2030, atau lebih dari emisi industri India saat ini.



Penelitian ini mengindikasikan bahwa memotong emisi akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang relatif dengan pendekatan konvensional. “Sebagai contoh, kebakaran gambut membuat negara rugi hingga USD 4 milyar per tahun karena “kehilangan material, logistik yang terlambat, dan masalah kesehatan,” menurut pernyataan yang dikeluarkan bersama dengan laporan tadi.



“Profil emisi GRK Indonesia unik karena sangat didominasi oleh emisi dari hutan dan lahan gambut di mana penggunaan lahan yang lebih efisien meningkatkan nilai ekonomi dan mengurangi emisi GRK,” tertulis dalam pernyataan tersebut. “Menghentikan penggunaan api sebagai alat untuk pembukaan lahan, meningkatkan praktek penebangan hingga sedikit kayu yang tertinggal untuk membusuk dan menjadi limbah, penghutanan kembali wilayah yang terdegradasi merupakan beberapa contoh dari inisiatif mitigasi GRK berdampak tinggi dalam strategi pertumbuhan ramah lingkungan. Mereka memiliki prinsip yang sama bahwa nilai ekonomi jangka panjang mereka jelas mengalahkan manfaat dari meneruskan aktivitas yang tak berkesinambungan dan menghasilkan emisi GRK tinggi.”



Lahan gambut yang ditebangi di Borneo

Peneliti-peneliti ini mengutip Kalimantan Timur sebagai contoh. Provinsi tersebut, terletak di bagian timur Borneo Indonesia, mengalami pengubahan fungsi besar-besaran dari lahan gambut dan hutan untuk produksi kayu dan perkebunan. Namun penelitian ini menemukan bahwa propinsi tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan GDP-nya dari tingkat bisnis-seperti-biasa yaitu 3 persen per tahun ke 5 persen “tanpa meningkatkan emisi dengan berpindah ke aktivitas yang bernilai lebih tinggi dan mempromosikan sektor intensif karbon rendah.”



“Di sebuah ekonomi yang sedang berkembang seperti Indonesia, masyarakat tidak akan memilih itu mengurangi emisi GRK jika itu berarti memperlambat pertumbuhan ekonomi. Strategi kami tidak membutuhkan pilihan itu,” ujar Rachmat Witoelar, Ketua Eksekutif DNPI. “Kami menemukan bahwa pengembangan ekonomi dan mitigasi GRK bisa saling memperkuat. Jalan ekonomi yang lebih berkesinambungan membutuhkan pergeseran paradigma, tapi dalam jangka panjang ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.”



Laporan dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)



Exit mobile version