Site icon Conservation news

Meski Menurun, Pembalakan Liar Masih Masalah Besar

Laporan terbaru dari Chatham House mengungkapkan pembalakan liar di hutan tropis nasional di seluruh dunia secara umum menurun. Temuan ini membuktikan regulasi-regulasi baru dan usaha internasional dalam memerangi pembalakan liar berdampak positif.



Menurut laporan tersebut, total kayu ilegal yang dihasilkan di seluruh dunia turun hingga 22% sejak tahun 2002. Chatham House juga menyebutkan negara penghasil dan pengguna kayu ilegal harus menempuh jalan berliku untuk melakukan pembalakan liar.



Gunung Leuser, Sumatra. Photo oleh Rhett A. Butler.

“Pembalakan liar dan pengiriman kayu hasil pembalakan liar memerlukan jarak tempuh yang setara dengan sepuluh kali mengelilingi dunia,” kata Larry MacFaul, salah satu penulis laporan Chatham House, menggambarkan skala kesulitan dalam menghadapi isu ini.



Pembalakan liar di seluruh dunia muncul bersamaan dengan timbulnya masalah lingkungan dan sosial. Penghancuran hutan tropis menyebabkan produksi gas emisi rumah kaca dalam jumlah yang amat besar mengancam keanekaragaman hayati dan membahayakan “layanan ekosistem” seperti air bersih.



Dilakukan tanpa mengindahkan aturan, pembalakan liar sering mengancam kehidupan masyarakat adat yang tinggal di dalam hutan, menganggap rendah ekonomi dan komunitas lokal, dan menghapus pendapatan pemerintahan negara berkembang yang akan didapat dari pembalakan yang dilakukan secara legal, atau melalui perdagangan karbon. Banyak riset menunjukkan masalah lingkungan lain akan muncul seiring dilakukannya pembalakan liar, seperti penyelundupan dan perdagangan satwa langka.



“Lebih dari sejuta penduduk miskin di dunia menggantungkan hidup pada hutan. Penghentian pembalakan liar akan melindungi sumber penghidupan mereka,” kata Sam Lawson, anggota Chantham House Fellow dan penulis utama laporan ini, pada siaran pers yang dirilis 15 Juli 2010.



Chatham House adalah organisasi yang bermarkas di London, yang aktif melakukan analisis independen mengenai isu-isu internasional.



Negara Asal Kayu Ilegal



Riset Chatham House untuk laporan ini menemukan lima penghasil kayu hutan terbesar di dunia secara signifikan berhasil menurunkan angka pembalakan liar selama dekade terakhir.



Di hutan Amazon, Brasil, pembalakan liar menurun 50% hingga 75%. Menurut laporan tersebut, perbaikan hukum dan regulasi, yang diikuti membaiknya penegakan hukum, berdampak besar bagi Brasil. Jumlah kasus pembalakan liar yang berhasil dibawa ke pengadilan melonjak tajam dari 400 kasus pada tahun 2003 menjadi 3.000 kasus pada tahun 2007. Meski menurun, tetap saja 34% kayu yang diekspor Brasil hasil dari pembalakan liar.



Di Indonesia, pembalakan liar turun hingga 74%. Membaiknya sistem pemerintahan, meningkatnya penanaman di hutan produksi, dan tekanan dari kelompok masyarakat membantu negara mengatasi masalah pembalakan liar, meski 40% kayu yang dihasilkan Indonesia diduga masih ilegal. Minimnya penegakan dan penerapan kebijakan dan regulasi yang terkait dengan pembalakan liar masih menjadi halangan utama dalam menghentikan pembalakan liar di Indonesia.



Madagascar. Photo oleh Rhett A. Butler.

Kamerun berhasil mengurangi pembalakan liar hingga 50% sejak tahun 1999. Menurut laporan Chatham House, Independent Observer of Forest Law Enforcement and Governance, organisasi yang mengawasi perdagangan, memberikan pengaruh besar dalam mengurangi pembalakan liar di Kamerun. Tekanan dari konsumen di Eropa juga berdampak positif. Sama seperti lima negara penghasil kayu lainnya, penegakan regulasi dan hukum masih menjadi masalah utama. Sebagai tambahan, laporan ini merekomendasikan Kamerun memperkuat hukum yang terkait dengan pembalakan liar.



Berkurangnya pembalakan liar di Brasil, Indonesia, dan Kamerun berarti menyelamatkan 17 juta hektare hutan (setara dengan luas Austria) dan menyimpan 1,2 miliar ton karbon yang dilepaskan ke atmosfer. Di sisi lain, dari kayu yang dihasilkan dari hutan seluas ini, ketiga negara tersebut dapat memperoleh pendapatan lebih dari US$ 6 juta.



Penghentian pembalakan liar secara menyeluruh di tiga negara itu akan membawa keuntungan lain: terhindarnya pelepasan 14,6 juta ton karbon, jumlah emisi yang sama yang dihasilkan dari kegiatan manusia dalam 6 bulan.



Laporan ini juga menyoroti Malaysia dan Ghana. Memang kasus pembalakan liar di Malaysia lebih sedikit dibandingkan empat negara lain yang dievaluasi Chatham House, namun Malaysia tampak tidak melakukan upaya yang berarti dalam memerangi pembalakan liar dalam satu dekade terakhir. Transparansi menjadi masalah terbesar yang dihadapi Malaysia.



Seperti halnya Malaysia, Ghana juga tidak tampak meningkatkan upaya memerangi pembalakan liar dalam satu dekade terakhir. Pembalakan liar masih merajalela di Ghana. Diduga dua pertiga dari total kayu yang dihasilkan Ghana berasal dari pembalakan liar.



Saat angka pembalakan liar menurun di banyak negara, di beberapa negara lain pembalakan liar justru menjadi booming. Madagaskar, misalnya, mengalami krisis pembalakan liar setelah terjadi kudeta pemerintahan. Para pembalak liar bahkan masuk ke taman nasional untuk mencari kayu rosewood (tipuana tipu) yang langka dan mahal. Situasi ini mengancam keanekaragaman hayati negara pulau ini.



Laporan Chatham House ini menekankan bahwa di masa lalu, pembalakan liar bukanlah masalah besar. Bertambahnya penelitian yang dilakukan – dan di beberapa kasus – penegakan hukum yang semakin membaik membuat praktik pembalakan liar berubah dari yang dilakukan secara terbuka menjadi praktik yang sulit dideteksi. Misalnya saja ketika perusahaan kayu menebang hutan di luar area yang diatur dalam izin penebangan hutan untuk lahan pertanian atau menerima izin yang dikeluarkan secara ilegal.



Negara Konsumen



Bertolak belakang dengan biaya lingkungan dan sosial, pasar untuk kayu tropis ilegal meledak. Tanpa permintaan akan kayu ilegal, perdagangan akan sepi. Masih menurut laporan Chatham House, permintaan yang tinggi masih datang dari negara-negara terkaya di dunia: Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Prancis, Belanda, dan yang terbanyak, China.



Pada tahun 2008 lima negara pengguna kayu tropis ilegal yang diamati Chatham House – selain China – membeli 17 juta meter kubik kayu ilegal dan produk kayu dari sumber ilegal. Kayu ilegal yang masuk ke negara-negara itu senilai lebih dari US$ 8,4 juta per tahun. Kebanyakan kayu ilegal tersebut berbentuk perabotan rumah atau lembaran kayu: setelah ditebang, kayu biasanya dikirim ke China untuk diproses dan kemudian diekspor ke negara-negara konsumen besar itu.



Namun, saat ini negara-negara konsumen kayu telah memulai langkah besar dalam memerangi pembalakan liar. Pada tahun 2008, AS mengesahkan amandemen terhadap Lacey Act yang melarang seluruh perusahaan AS membeli, menjual, atau menyimpan kayu yang didapat dari sumber ilegal. Inilah undang-undang pertama yang terkait dengan pembalakan liar.



Langkah AS ini kemudian diikuti Uni Eropa. Pekan lalu parlemen Eropa melakukan vote untuk melarang kayu yang diambil secara ilegal dari pasar Eropa. Meski demikian, peraturan tersebut baru efektif dilaksanakan pada tahun 2012 untuk produk kayu dan tahun 2017 untuk produk kertas. Perlu waktu untuk melihat seberapa efektif undang-undang yang baru ini mengatasi masalah pembalakan liar, mengingat undang-undang ini berlaku di pasar kayu ilegal terbesar di dunia. Laporan terbaru terkait undang-undang yang berlaku di AS menunjukkan hasil positif.



“Usaha untuk memerangi pembalakan liar dan meningkatkan pengelolaan hutan membuat negara maju dan berkembang secara bersama-sama bersatu mewujudkan tujuan mereka dengan cara yang unik,” kata Lawson. “Penelitian kami menunjukkan perhatian dan tekanan konsumen kayu ilegal, ditambah langkah-langkah yang diambil oleh negara penghasil, dapat menghasilkan dampak yang amat positif.”



Konsumsi kayu ilegal mencapai 2% hingga 4% dari total penggunaan kayu di AS, Inggris, dan Belanda. Namun, lain halnya dengan Jepang. Diperkirakan 9% produk kayu yang dijual di Jepang merupakan kayu ilegal. Menurut hukum dan regulasi yang terkait perdagangan, Jepang jauh tertinggal dari AS dan Eropa. Chatham House dalam laporannya merekomendasikan Jepang mengadaptasi larangan kayu ilegal dari pasarnya.



Kartu Mati



Tidak mungkin membahas masalah pembalakan liar selama satu dekade terakhir tanpa menyebut China. Negara adidaya baru ini secara de facto pusat pembalakan liar: kayu yang masuk ke China diperoleh dengan cara ilegal dan diproses menjadi papan, perabot rumah tangga, atau produk kayu lain. Kayu-kayu itu kemudian diekspor ke seluruh dunia dan sering kali dijual murah.



Laporan ini menyebutkan, seperlima kayu yang diimpor China adalah ilegal. Kenyataan ini menempatkan China sebagai pengimpor dan pengekspor kayu ilegal terbesar di dunia: 20 juta meter kubik kayu ilegal dikirim ke China setiap hari, jauh lebih banyak dari jumlah total yang dikirim ke Inggris, AS, Jepang, Belanda, dan Prancis.



Saat China membahas masalah terkait pembalakan liar bersama Uni Eropa dan AS, pejabat pemerintahan China tidak berdaya menghentikan pembalakan liar akibat minimnya hukum yang melarang praktik tersebut. Menurut Chatham House, perusahaan China juga enggan mencari kayu yang bersertifikat legal dan lebih mempertimbangkan harga. Chatham House merekomendasikan China mengadopsi undang-undang yang melarang pembalakan liar yang baru.



Briefing Paper laporan Chatham House menyebutkan, “Meski angka pembalakan liar menurun, hal tersebut masih menjadi masalah besar. Dan, meski menunjukkan kemajuan, masih ada tantangan lain yang harus dihadapi. Dalam usaha mengakhiri pembalakan liar dan perdagangan kayu yang terkait dengan itu secara menyeluruh, penting bagi pembuat kebijakan dan pemilik modal mengambil pelajaran dari masa lalu dan mengubah sikap terhadap masalah ini.”

Exit mobile version