Site icon Conservation news

Penghancuran hutan oleh Sinar Mas merusak upaya-upaya untuk mengembangkan dan mempromosikan minyak sawit yang lebih hijau

Sebuah komisi investigasi Unilever, pembeli minyak sawit terbesar di dunia, membenarkan bahwa grup Sinar Mas Indonesia, produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia, telah menghancurkan hutan dan lahan gambut meskipun sebagai anggota dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), mereka seharusnya melakukan produksi minyak sawit yang ‘lebih hijau’. Unilever kini menangguhkan kontrak senilai USD 32,6 juta dengan Sinar Mas.



Penemuan dari investigasi ini merupakan kemunduran sejak RSPO, yang telah mengembangkan kriteria untuk memastikan produksi minyak kelapa yang lebih tidak merusak lingkungan. Namun Greenpeace, kelompok lingkungan hidup yang laporan tahun 2008 miliknya menghubungkan Sinar Mas dengan penggundulan hutan memacu investigasi oleh Unilever, mengatakan bahwa keputusan Unilever bisa “merepresentasikan momen penegasan untuk industri minyak sawit”.



Kalimantan.

“Apa yang kita lihat saat ini adalah pembeli minyak sawit terbesar di dunia menggunakan kekuatan finansialnya untuk memberikan sanksi bagi penyedia minyak yang merusak hutan hujan dan menghilangkan lahan gambut,” ujar direktur Greenpeace John Sauven dalam sebuah pernyataan. “Ini telah memunculkan standar baru untuk diikuti oleh yang lain. Perusahaan-perusahaan yang ingin dipandang sebagai perusahaan yang bertanggung jawab pada lingkungan harus segera menghentikan menggunakan sumber produk dari grup Sinar Mas.”



Respon



Hari Sabtu, Sinar Mas mengeluarkan pernyataan yang menyatakan kesediaan mereka untuk melakukan diskusi terbuka dengan Greenpeace mengenai pembabatan hutan di Kalimantan, namun kelompok lingkungan hidup tersebut mengatakan mereka tidak akan bertemu dengan Sinar Mas sebelum perusahaan minyak sawit tersebut mengumumkan sebuah moratorium tentang pembabatan hutan dan lahan gambut.



Menurut Jakarta Globe, Sinar Mas memberi label pada laporan Greenpeace sebagai “satu-sisi, tidak akurat, berlebih-lebihan, dan menyesatkan”. Namun investigasi yang dilakukan oleh Unilever menemukan bahwa “situasi di lapangan lebih buruk dari yang digambarkan oleh Greenpeace”, menurut Eric Wakker dari Aidenvironment, sebuah konsultan non-profit yang melaksanakan audit untuk Unilever.


Forest destruction by Sinar Mas undermines efforts to develop and promote greener palm oil



An investigation commission by Unilever, the world’s largest buyer of palm oil, confirms that Indonesian group Sinar Mas, the world’s second largest producer of palm oil, has been destroying forests and peatlands despite committing to “greener” palm oil production as a member of the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Unilever has now suspended its $32.6 million contract with Sinar Mas.



The findings of the investigation are a setback to RSPO, which has developed criteria to ensure that palm oil production is less damaging to the environment. But Greenpeace, the environmental group whose 2008 report linking Sinar Mas to deforestation spurred Unilever’s investigation, says Unilever’s decision could “could represent a defining moment for the palm oil industry.”



“What we’re seeing here is the world’s larger buyer of palm oil using its financial muscle to sanction suppliers who are destroying rain forests and clearing peatlands,” said Greenpeace director John Sauven in a statement. “This has set a new standard for others to follow. Companies that wish to be seen as environmentally responsible must immediately stop sourcing products from the Sinar Mas group.”



Response



On Saturday Sinar Mas issued a statement declaring a readiness to open discussions with Greenpeace over forest clearing in Kalimantan, but the environmental group said it will not meet with Sinar Mas until the palm oil company declares a moratorium on clearing of forests and peatlands.



According to the Jarkarta Globe, Sinar Mas labeled the Greenpeace report “one-sided, inaccurate, exaggerated and misleading.” But the investigation commissioned by Unilever found “the situation on the ground to be worse than depicted by Greenpeace,” according to the Eric Wakker of Aidenvironment, the non-profit consultancy that conducted the audit for Unilever.

Exit mobile version