Site icon Conservation news

Kenapa biofuels menggerakkan penggundulan hutan?

Saat ini banyak yang telah dilakukan dalam rangka pengubahan hutan hujan dengan keanekaragaman hayati milik Asia tersebut menjadi pengolahan kelapa sawit. Organisasi lingkungan hidup telah memperingatkan bahwa dengan memakan makanan yang mengandung minyak kelapa, konsumen Barat secara langsung ikut membantu perusakan habitat orangutan dan ekosistem yang sensitif.



Jadi, mengapa perkebunan kelapa sawit saat ini luasnya mencapai jutaan hektar mencakup Malaysia, Indonesia, dan Thailand? Kenapa kelapa sawit menjadi buah panen nomor satu, mengalahkan kompetitor terdekatnya, pisang yang rendah hati?



Jawabannya ada pada produktivitas panenan yang tidak sejalan. Sederhananya, kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit dapat menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah menurut data dari JourneytoForever. Sebagai pembanding, kedelai dan jagung – hasil yang kerap digembar-gemborkan sebagai sumber bahan bakan biologis yang unggul – hanya menghasilkan sekitar 446 dan 172 liter per hektar.



Selain biofuel, kelapa sawit juga dipakaikan untuk beribu-ribu kegunaan lain dari bahan-bahan makanan ke pelumas mesin hingga dasar kosmetik. Kelapa sawit telah menjadi produk agrikultur yang sangat penting untuk negara-negara tropis di seluruh dunia, terutama saat harga minyak mentah mencapai 70 USD per barrel. Sebagai contohnya, Indonesia saat ini merupakan negara penghasil minyak kelapa terbesar kedua di dunia, perkebunanan kelapa sawitnya mencakup 5,3 juta hektar di tahun 2004, menurut laporan dari Friends of the Earth-Netherlands.



Perkebunan ini telah menghasilkan 11,4 juta ton kubik minyak kelapa mentah dengan nilai ekspor sebesar 4,43 milyar USD dan mendatangkan (secara resmi) 42,4 juta USD ke dalam kas negara. Karenanya, nilai dari minyak kelapa terus meningkat. Harganya saat ini mencapai lebih dari 400 USD per ton kubik, atau sekitar 54 USD per barrel – cukup kompetitif bila dibandingkan dengan petroleum.









Walaupun kelapa sawit cukup sukses di Asia, namun sebenarnya ini bukan tanaman asli bagi kawasan tersebut. Kelapa sawit Afrika (Elaeis guineensis) berasal dari kawasan tropis Afrika, tersebar di hutan hujan Sierra Leone hingga Kongo, Republik Demokratis Kongo. Spesiesnya dikenalkan pada Malaysia pada awal abad ke-20 dan pertama kali ditanam untuk tujuan komersial pada tahun 1917.



Saat ini hampir separuh dari lahan yang telah diolah dan ditanami di Malaysia merupakan lahan kelapa sawit, dan negara tersebut telah menjadi produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar, walau Indonesia dengan cepat telah menunjukkan dirinya. Kedua negara, Indonesia dan Malaysia, mengekspor produk-produk tersebut dalam jumlah besar ke Cina: ekspor Malaysia sendiri ke negara tersebut diperkirakan akan meningkat lebih dari 20 persen dari 2,9 juta ton kubik di tahun 2005 hingga lebih dari 3,2 juta ton kubik di tahun 2006, merepresentasikan hampir 1 persen dari keseluruhan nilai ekspor Malaysia.



Minyak kelapa berasal dari buah tumbuhan tersebut, yang satu tandannya bisa mempunyai berat sekitar 40-50 kg. Seratus kilogram dari bibit minyak ini bisa menghasilkan sekitar 20 kg minyak. Tandan buah ini biasa dipanen dengan menggunakan tangan, pekerjaan yang sulit di daerah iklim tropis dimana kelapa sawit tumbuh dengan subur. Di Malaysia, kebanyakan dari pekerjaan ini dilakukan oleh tenaga kerja dari luar, kebanyakan dari Indonesia. Walau kelapa sawit dapat hidup lebih lama dari 150 tahun dan tumbuh hingga 80 kaki di alam bebas, kelapa sawit yang ditanam ini biasanya ditebang atau diracun setelah berusia 25 tahun saat tingginya telah mencapai 30 kaki. Bila lebih tinggi dari 30 kaki, maka memanen buahnya akan menimbulkan kesulitan tersendiri.



Minyak kelapa digunakan sebagai salah satu bahan mentah dari produksi biodiesel, bahan bakar yang berasal dari minyak sayur atau lemak hewani. Pada umumnya, biodiesel ini bisa diturunkan tingkatannya dan, saat terbakar, memiliki emisi yang lebih sedikit dibandingkan dengan bahan bakar petroleum tradisional. Biasanya, biofeul ini dicampur dengan bahan bakar petroleum tradisional, walau memungkinkan pula untuk menjalankan mesin diesel hanya dengan menggunakan biodieasel, yang menjadikannya menjanjikan sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil.



Para enviromentalis umumnya mendukung biofeuls ini karena rendahnya polusi yang mereka munculkan, sementara yang lain menyetujui ide untuk mengurangi ketergantungan akan minyak di Timur Tengah karena banyak tumbuhan biodiesel dapat ditanam di kawasan lain atau bahkan diproduksi sendiri. Dengan ide ini di dalam pikiran mereka, para pembuat kebijakan dari Asia hingga Eropa telah menunjukkan ketertarikan dan memberikan dorongan untuk mempromosikan dan menggunakan biofuel tersebut.




Jadi, kenapa penanaman kelapa sawit menuai perhatian? Untuk para environmentalis, permasalahan utama dengan minyak kelapa sebagai biodiesel terletak pada bagaimana tanaman tersebut diolah. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak area hutan alami yang dibuka di seantero Asia untuk perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini telah menurunkan keanekaragaman hayati, meningkatkan kerentanan pada bahaya kebakaran, dan berdampak pada ketergantungan masyarakat sekitar akan produk dan jasa yang telah disediakan oleh ekosistem hutan.



Selain hilangnya ekosistem hutan, produksi minyak kelapa, seperti yang sedang dipraktekkan saat ini, dapat menyebabkan kerusakan yang cukup parah bagi lingkungan hidup. Di tahun 2001, produksi Malaysia sebanyak 7 juta ton minyak kelapa mentah menghasilkan hingga 9,9 juta ton limbah minyak padat, fiber kelapa, dan batok, serta 10 juta ton limbah yang merusak dari minyak kelapa, yaitu campuran polusi dari batok yang hancur, air, dan residu lemak, yang mempunyai dampak negatif pada ekosistem akuatik.



Lebih jauh lagi, penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk berbasis petroleum secara bebas membuat yakin bahwa kebanyakan pengolahan minyak kelapa tak hanya menyebabkan polusi pada tingkat lokal, namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Melihat Malaysia merupakan salah satu dari produser yang paling efisien, produksi di daerah lain mungkin lebih berpolusi. Perkebunan di Indonesia sangat merusak karenanya setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit kebanyakan ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga beberapa tanaman mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.



Karena alasan ini, komunitas ilmuwan sangat prihatin dengan munculnya proposal dari pemerintah Indonesia untuk mengubah kawasan terpencil dan hutan hujan dengan keanekaragaman hayati di Borneo menjadi perkebunan kelapa sawit. Usulan kawasan monokultur yang sangat luas ini dapat mengancam musnahnya keanekaragaman hayati legendaris kawasan tersebut – menurut WWF sebanyak 361 spesies hewan telah ditemukan di pulau tersebut dalam satu dekade lalu – sekaligus menelantarkan penduduk lokal, termasuk suku Dayak, penduduk asli hutan yang terkenal akan keahlian berburu dan melacaknya.



Rencana ambisius: Menurut laporan Friend of Earth, di pertengahan 1990an Indonesia telah menyiapkan 9,13 juta hektar untuk ditanami kelapa sawit. Di tahun 2004, hanya sekitar 58 persen dari area ini yang benar-benar ditanami, walau area hutan hujan alami yang luas telah terlanjur dibuka demi produksi kelapa sawit. Contohnya, dalam makalah milik Lesley Potter dari Australian National University, walau hanya 303.000 hektar dari 2 juta hektar lahan di Kalimantan Timur yang disiapkan untuk pengembangan kelapa sawit telah ditanami, namun sekitar 3,1 juta hektar hutan telah dibuka dengan kedok pembangunan perkebunan.



Indonesia telah mengumumkan rencananya untuk melipatgandakan produksi minyak kelapa mentahnya pada tahun 2025, suatu target yang akan membutuhkan 2 kali lipat peningkatan di hasilnya – sesuatu yang sangat mungkin melihat dari keberhasilan negara tetangganya Malaisya – atau justru memperluas daerah yang akan ditanami kelapa sawit. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Indonesia sepertinya akan menggunakan kedua pilihan yang ada. Sesuai usulan investasi tahun 2005, yang dibuat oleh Perusahaan Perkebunan Negara PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Indonesia akan mengembangkan sekitar 1,8 juta hektar di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, dimana kebanyakan sisa hutan yang lengkap masih ada.



Cina akan terlibat dalam rencana ini, dengan menginvestasikan 7,5 milyar USD di proyek infrastruktur dan energi, termasuk menyediakan modal untuk perkebunan kelapa sawit. Investor Cina secara langsung akan mengendalikan sekitar 600.000 hektar perkebunan kelapa sawit, sementara 1,2 juta hektar akan dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Berdasarkan eksplorasi dari konsesi sekitar 100.000 hektar, total biaya yang dibuthkan proyek ini diramalkan oleh Friends of the Earth akan mencapai 8,6 milyar USD.



Proyek ini nantinya akan mempekerjakan hingga 400.000 tenaga kerja dan menghasilkan pemasukan tahunan untuk pajak negara sebesar 45 juta USD. Usulan PTPN ini menyarankan agar perkebunan didirikan di tiga taman nasional, Betung Kerihun (800.000 hektar), Kayan Mentarang (1.360.000 hektar), dan Danau Sentarum (132.000 hektar) serta hutan lindung di sekitarnya dan hutan yang berada dalam konsesi penebangan.


Untuk minyak kelapa atau sesuatu hal yang lain? Di atas kertas, melihat luasnya area hutan tropis di kawasan tersebut dan tingginya nilai minyak kelapa, rencana tersebut tampaknya pilihan yang menguntungkan dilihat dari sisi ekonomi. Bagaimanapun juga, analisa lebih lanjut mengenai kecocokan lahan untuk ditanami kelapa sawit membuat para pemerhati lingkungan kembali bertanya mengenai tujuan utama rencana tersebut, mengesankan bahwa ada kepentingan lain.



Survey pada kawasan tersebut yang dilakukan oleh WWF menemukan bahwa sebagian besar lahan tersebut sangat buruk bila digunakan untuk kelapa sawit. Permukaan yang bergunung-gunung dikombinasikan dengan ketinggian dan iklim yang tak sesuai untuk kelapa sawit berarti paling tinggi hanya sekitar 10 persen yang cocok digunakan untuk penanamannya dan ini memberikan kredibilitas bagi kelompok-kelompok environmentalis untuk menunjukkan bahwa seluruh rencana tersebut mungkin saja hanya merupakan kedok untuk penebangan hutan besar-besaran guna mengambil seluruh sumber kayu yang ada di wilayah tersebut.



Greenomics, salah satu organisasi kehutanan non pemerintah, telah menghitung nilai kayu di kawasan perbatasan mencapai 26 milyar USD. Menebang wilayah yang disiapkan untuk perkebunan kelapa sawit bisa mendatangkan pemasukan bersih yang substansial bagi perusahaan penebangan tersebut dan pendapatan dari pajak bagi pemerintah Indonesia. Lebih lanjut lagi, karena proyek kelapa sawit ini membutuhkan konstruksi jalan yang besar, infrastruktur ini justru dapat mengantarkan kayu yang bernilai tinggi – sekalipun sebelumnya tak dapat diakses – ke pasar.



Secara bersamaan, pemerintah juga dapat memperluas program transmigrasi untuk memindahkan penduduk yang telah memadati Jawa, sesuatu yang telah dilakukan secara luas di bagian lain Kalimantan. Terakhir, pemerintah dapat memperlambat berkurangnya pemasukan dari pajak akibat adanya perdagangan kayu ilegal yang semakin berkembang di kawasan perbatasan – diperkirakan oleh Menteri Kehutanan Indonesia beberapa tahun yang lalu sebanyak 230.000 hingga 250.000 meter kubik kayu per bulan.



Melihat rekor sebelumnya dalam pengembangan kelapa sawit dan kesesuaian tanah yang dipertanyakan, kelompok lingkungan hidup menduga bahwa untuk memulai proyek ini, hutan di luar wilayah konsesi akan dibuka, sementara para pemilik tanah tak pernah bermaksud untuk benar-benar menanam pohon. Makalah milik Friends of the Earth mencatat bahwa “banyak ijin perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak benar-benar dikembangkan menjadi lahan kelapa sawit. Malahan, lahan-lahan ini sepertinya diterlantarkan karena para pemegang ijin tidak mengerjakan lahan tersebut.”



Bagi para kelompok lingkungan hidup ini, yang sebenarnya bermasalah dari tren ini adalah itu semua merupakan pemborosan, dan terjadi di beberapa tempat yang memiliki ekosistem keanekaragaman hayati paling banyak di planet. Makalah tersebut menyebutkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Greenomics yang menemukan “60 persen dari seluruh pengubahan fungsi hutan dengan tujuan menanam dan perkebunan kelapa sawit masih terjadi di hutan-hutan yang bagus di tahun 2004-2005.”



Sekedar berubah pikiran atau ada maksud tersembunyi? Pada 28 Maret 2006, di Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB di Ciritiba, Brazil, pemerintah Indonesia mengumumkan akan mendukung inisiatif dari WWF untuk melindungi “Jantung Borneo”. WWF menyimpulkan bahwa dengan pengumuman ini berarti Indonesia akan menggagalkan rencana untuk membuat perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia di wilayah perbatasan Kalimantan, membuat para kelompok lingkungan hidup di seluruh dunia bergembira bahwa lokasi keanekaragaman hayati ini tak akan hilang karena pembangunan.



Bagaimanapun juga, rupanya kegembiraan mereka terlalu dini. Laporan dari Friends of the Earth melihat pengumuman Indonesia dari sisi yang berbeda, disebutkan “walaupun begitu, komitmen ini bukan berarti bahwa rencana untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di kawasan perbatasan dibatalkan.” Dikatakan pula bahwa Presiden Indonesia Yudhoyono “belum memberikan pernyataan resmi pada publik mengenai proyek kelapa sawit di perbatasan dibatalkan . . . [dan bahwa] Presiden masih mendukung keseluruhan program pembangunan di perbatasan.”



Lebih lanjut lagi, laporan tersebut menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sebelumnya telah setuju pada Cina menjadikan lahan tersebut bisa digunakan untuk pengembangan kelapa sawit dan tak akan mengingkari komitmen tersebut. Laporan ini juga memberikan catatan bahwa pemerintah telah mengumumkan rencana tambahan untuk memperluas area perkebunan ini menjadi 3 juta hektar agar dapat memenuhi peningkatan permintaan biofuel. Akhirnya laporan tersebut memberikan peringatan “komitmen yang dibuat oleh pemerintah pusat mungkin saja diabaikan sama sekali oleh pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten.” Friends of the Earth menambahkan bahwa Indonesia pada akhirnya mungkin tidak akan membatalkan proyek tersebut.




Pertempuran memperebutkan jantung Borneo. Walau masih belum jelas status perkebunan kelapa sawit di Borneo Tengah, laporan Friends of the Earth memberikan satu set rekomendasi untuk dapat menggunakan hutan hujan di Kalimantan dengan lebih baik secara ekologi maupun ekonomi. Organisasi tersebut menyebutkan bahwa pernyataan dari Presiden Indonesia Yudhoyono diperlukan untuk memperjelas status resmi dari proyek kelapa sawit. Jika pemerintah tidak bermaksud untuk melanjutkan dengan proyek yang diusulkan tersebut, maka pertama-tama pemerintah harus memfokuskan diri pada meningkatnya produktifitas di perkebunan yang telah ada, bukannya membuka lahan baru untuk kelapa sawit.



Ini bisa dilakukan dengan menggunakan bibiat unggul dan menerapkan praktek berkebun yang lebih baik dari seluruh bagian dunia, serta mendorong untuk menanam kembali perkebunan yang telah diterlantarkan. Laporan tersebut juga berpendapat bahwa akan lebih bijaksana jika Indonesia menggunakan sertifikasi argikultur untuk kelapa sawitnya agar meyakinkan bahwa produknya berasal dari perkebunan yang dijalankan dengan baik.



Satu set kriteria telah dibuat di bawah Principles and Criteria of the Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO). Bagian kunci untuk rencana sertifikasi adalah megajak negara pengguna untuk bergabung. Jika negara-negara ini gagal untuk mendapatkan kelapa sawit dari sumber yang mendukung, maka tak akan ada bantuan bagi para produsen untuk menjalankan perkebunan mereka dengan cara yang lebih baik. Karenanya, menurut laporan tersebut, negara-negara industri harus didorong untuk menerima produk kelapa sawit yang merupakan hasil dari sumber yang telah tersertifikasi.



Di tingkat lokal, Friends of the Earth berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya berfokus pada membantu masyarakat lokal untuk meningkatkan akses pasar bagi produk hutan non-kayu dan pertanian hutan, sekaligus meminimalkan dampak potensial dari jalan apapun dan proyek infrastruktur yang terkait yang merupakan hasil dari rencana tadi.



Akhirnya, untuk membuktikan betapa menggunakan ijin kelapa sawit dengan salah adalah serius, pemerintah Indonesia butuh untuk memperkuat hukum yang ada. Hingga saat ini, beberapa petugas perkebunantelah didenda atau dipenjarakan karena penggundulan hutan secara ilegal atau menyebabkan kebakaran hutan, dan pemilik tanah hanya memiliki sedikit alasan untuk mengikuti peraturan yang ada.



Di luar rekomendasi ini, situasi saat ini mungkin akan memunculkan kesempatan untuk menukarkan konservasi hutan dengan emisi karbon. Atas usulan inisiatif dari 10 negara berkembang, negara industri akan membayar konservasi hutan hujan yang akan ditukar dengan “kredit karbon” yang akan turut dihitung dalam target emisi mereka di bawah Protokol Kyoto atau perjanjian internasional lainnya.



Mungkin akan ada pula potensi inisiatif pembicaraan pivat dimana konsesi yang belum ditebang dan dikembangkan dapat dibeli oleh pihak swasta dan disiapkan untuk memberikan keuntungan lingkungan hidup jangka panjang.



Terlepas dari jalan yang telah dipilih, Friends of the Earth dan asosiasi kelompok lingkungan hidup telah menegaskan bahwa pemerintah Indonesia seharusnya mempunyai maksud sendiri dan membuat keputusan dengan berdasar pada evaluasi teliti dengan seluruh informasi yang memungkinkan. Karena negara ini masih memiliki hutan tropis yang sangat luas di kawasan Asia, keputusan mengenai hutan adalah kunci dari kelangsungan jangka panjang keanekaragaman kawasan tersebut dan pemeliharaan pelayanan ekologi.

Exit mobile version