- GEOGRAFI
- FOTO
- HUTAN-HUTAN
- PENGGUNDULAN HUTAN
- PENDUDUK
- DAERAH YANG DILINDUNGI
- PERMASALAHAN
- SOLUSI
- MASA DEPAN BORNEO
FAKTA-FAKTA BORNEO
Luas tanah: 743.330 kilometer persegi (287.000 mil persegi, 74,33 juta hektar, atau 183,68 juta are)
Populasi manusia: 17,7 juta, dimana 17% atau 2,2 juta adalah suku pribumi Dayak
Negara:
Keanekaragaman hayati: 15.000 spesies tumbuhan, lebih dari 1.400 amphibi, burung, ikan, mamalia, dan reptil, serta serangga yang tak diketahui jumlahnya
Luas Hutan: Sekitar 50%
Tingkat Penggundulan: 3,9 persen (2000-2005)
Penyebab Penggundulan Hutan: Penebangan pohon, penanaman kelapa sawit, usaha pertanian lain, kebakaran
Usaha Perlindungan Utama: Jantung Borneo
GAMBARAN LUAS: BORNEO
Borneo, pulau terbesar ketiga di dunia, dulunya dipenuhi oleh hutan hujan yang lebat. Dengan daerah pesisir rawa-rawa yang dibatasi oleh hutan bakau dan daerah bergunung-gunung, kebanyakan dari wilayah tersebut tampak tak mungkin dilewati dan dieksplorasi. Dukun dari suku pedalaman dulunya menguasai daerah-daerah terpencil dari pulau ini sampai satu abad yang lalu.
Di tahun 1980an dan 1990an, Borneo mengalami transisi yang menakjubkan. Hutan-hutannya ditebangi hingga tahap yang tak pernah terjadi di sejarah manusia. Hutan hujan Borneo berpindah ke negara-negara industri seperti Jepang dan Amerika Serikat dalam bentuk mebel untuk kebun, bubur kertas, dan sumpit. Awalnya, kebanyakan dari kayu tersebut diambil dari utara pulau bagian Malaysia kota Sabah dan Sarawak. Kemudian, hutan di bagian selatan Borneo, sebuah wilayah milik Indonesia dan dikenal dengan nama Kalimantan, menjadi sumber utama kayu tropis. Saat ini hutan-hutan di Borneo hanyalah bayangan dari legenda masa lalu dan yang masih ada sedang sangat terancam dengan meningkatnya pasar biofuel, terutama kelapa sawit.
Kelapa sawit adalah bibit minyak yang paling produktif di dunia. Satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau sekitar 6.000 liter minyak mentah, ini membuatnya menjadi tanaman yang paling menguntungkan bila ditanam di perkebunan yang luas — sebuah studi terhadap 10.000 hektar kebun menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modalnya mencapai 26 persen per tahun. Karenanya, banyak petak-petak tanah yang diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Penanaman kelapa sawit di Indonesia telah meluas dari 600.000 hektar di tahun 1985 hingga lebih dari 6 juta hektar di awal 2007, dan diperkirakan mencapai 10 juta hektar pada tahun 2010.
Walaupun begitu, akhir-akhir ini telah ada beberapa berita positif mengenai konservasi dari Borneo. Februari 2007, pemerintah Brunei, Malaysia, dan Indonesia sepakat untuk melindungi sekitar 220.000 kilometer persegi (85.000 mil persegi) hutan tropis di tempat yang dinamakan “Jantung Borneo”. Kelompok lingkungan hidup WWF adalah salah satu pihak yang aktif dalam berdirinya daerah yang dilindungi ini.
FOTO dari BORNEO
Slide show Borneo: klik gambar untuk melihat.
Versi besar dari slide show | Foto Lain dari Borneo
GEOGRAFI BORNEO
Borneo adalah pulau ketiga terbesar di dunia, menyelimuti wilayah seluas 743.330 kilometer persegi (287.000 mil persegi), atau sedikit lebih dari dua kali luas Jerman. Secara politis, pulau ini terbagi antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Borneo Indonesia dikenal dengan Kalimantan, sementara Borneo Malaysia dikenal dengan Malaysia Timur. Nama Borneo sendiri berasal dari referensi Barat awal yang digunakan oleh Belanda pada masa pemerintahan kolonial terhadap pulau tersebut.
Secara geografi, pulau ini terbagi menjadi dataran tinggi tengah yang memanjang diagonal dari kota Sabah (Malaysia) di timur laut Borneo ke barat daya Borneo, secara kasar membentuk batas antara Kalimantan Barat dan Tengah (Indonesia). Dataran tinggi ini bukan pegunungan berapi — di seantero Borneo, hanya terdapat satu gunung berapi yang telah mati — tapi merupakan gunung paling tinggi di Asia Tenggara: Gunung Kinabalu di Sabah, yang tingginya mencapai 4.095 meter (13.435 kaki).
HUTAN-HUTAN BORNEO
Hutan-hutan di Borneo adalah beberapa hutan yang memiliki keanekaragaman hayati paling banyak di planet ini. Menurut WWF, pulau ini diperkirakan memiliki setidaknya 222 spesies mamalia (44 darinya khas), 420 burung yang menetap (37 khas), 100 amphibi, 394 ikan (19 khas), dan 15.000 tumbuhan (6.000 khas) — lebih dari 400 dari yang telah ditemukan sejak tahun 1994. Survey menemukan lebih dari 700 spesies pohon di lahan 10 hektar — sebuah angka yang sama dengan jumlah pohon di Kanada dan Amerika Serikat, digabung.
Major vegetation types of Borneo. Map modified from WWF’s “Borneo: Treasure Island at Risk” report. The map is based on Langner A. and Siegert F.: Assessment of Rainforest Ecosystems in Borneo using MODIS satellite imagery. Remote Sensing Solutions GmbH & GeoBio Center of Ludwig-Maximilians-University Munich, in preparation, June 2005. Based on 57 single MODIS images dating from 11.2001 to 10.2002 with a spatial resolution of 250 m |
Dari ujung ke ujung Borneo, ditemukan beberapa ekosistem yang berbeda. Ini telah dibahas dalam laporan WWF “Borneo: Treasure Island at Risk” (2005).
Bakau
Bakau ditemukan di daerah pesisir dan muara. WWF memperkirakan bahwa luas daerah yang ditumbuhi bakau di Borneo mencapai 1,2 juta hektar, bagian yang sedikit — mungkin kurang dari 20 persen — dari keberadaan aslinya. Di Kalimantan, banyak kawasan bakau dibuka oleh para penebang hutan dan untuk pertanian.
Hutan Rawa gambut
Hutan rawa gambut adalah bentukan dominan dari apa yang tersisa di dataran rendah hutan di Borneo saat ini. hutan rawa ini muncul di daerah-daerah dimana vegetasi mati dipenuhi air dan, terlalu basah untuk membusuk, menumpuk sedikit demi sedikit menjadi rawa gambut. Tanah gambut tropis yang terbentuk dalam masa lebih dari ratusan tahun ini, adalah gudang raksasa untuk karbon. Mengeringkan dan/atau membakar tanah-tanah ini, akan melepaskan jumlah karbon dioksida yang luar biasa ke atmosfer. Daerah yang dikeringkan ini juga menjadi sangat mudah terbakar. Di bawah kondisi kering el Nino tahun 1997-1998, ribuan kebakaran mengamuk di daerah rawa gambut di Indonesia. Kebakaran di rawa gambut sangat sulit dipadamkan karena mereka dapat terbakar selama bulanan, dan tak akan terdeteksi secara sepintas karena terbakar di lapisan-lapisan lebih dalam dari tanah gambut tersebut. Di tahun 2002, menurut Langner dan Siegert (2005), hutan tanah gemuk ini menyelimuti sekitar 10 juta hektar di Borneo.
Hutan Pegunungan
Hutan pegunungan di Borneo biasanya ditemukan pada ketinggian 900 meter hingga 3.300 meter. Pohon-pohon di hutan ini umumnya lebih pendek dari yang ada di hutan dataran rendah, akibatnya kanopi yang ada pun tak terlalu lebat. Langner dan Siegert (2005) memperkirakan bahwa di tahun 2002 tersisa sekitar 70 persen (1,6 juta hektar) dari luas asli hutan montane di Borneo (2,27 juta hektar).
Hutan Kerangas
Hutan kerangas atau keranggas ditemukan di daerah yang sangat kering, dengan tanah berpasir yang sangat miskin nutrisi (“keranggas” adalah bahasa penduduk Iban untuk “tanah yang tak akan menumbuhkan beras”). Hutan-hutan ini dicirikan oleh pepohonan spesies tertentu yang toleran terhadap buruknya kondisi tanah, yang juga mengandung asam, dan sangat tidak bisa dibandingkan dengan hutan hujan pada umumnya. Hutan heath juga memiliki keanekaragaman hayati yang lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah tumbuhan tropis lainnya. MacKinnon et al. (1997) memperkirakan bahwa dulunya Borneo pernah memiliki 6.668.200 hektar hutan heath. Saat ini luasnya sudah sangat berkurang hingga Bank Dunia memperkirakan bahwa hampir tak akan ada hutan heath lagi di Borneo pada tahun 2010.
Hutan Dipterokarpa
Hutan dipterokarpa di dataran rendah adalah hutan yang paling beragam penghuninya dan paling terancam di Borneo (68% dataran rendah telah ditebangi di Kalimantan, 65% di Malaysia). Pepohonan raksasa ini, biasanya lebih tinggi dari 45 meter, adalah sumber kayu-kayu yang paling bernilai di Borneo dan telah ditebangi dengan buasnya selama 3 dekade ini. Langner dan Siegert (2005) memperkirakan bahwa hanya kurang dari 30 juta hektar hutan dipterokarpa dataran rendah yang tersisa di Borneo pada tahun 2002.
Meratanya dipterokarpas ini memberikan hutan-hutan Borneo dinamika tak biasa yang sangat terkait dengan fenomena atmosfer kelautan yang dinamakan El Niño-Southern Oscillation (juga dikenal sebagai ENSO atau “El Nino”). Menurut Lisa Curran, seorang biologis yang menghabiskan lebih dari 20 tahun di Borneo dan sekarang menjadi ahli terkemuka tentang sejarah alam pulau tersebut, reproduksi dipterokarpa sangat tak mungkin dilepaskan dari datangnya El Nino, dengan 80-93% dari spesiesnya menyamakan saat berbunga mereka dengan kondisi cuaca kering, yang biasanya muncul dalam jangka waktu 4 tahunan. Selama “tahun dipterokarpa” di Kalimantan, kanopi-kanopi menjadi berwarna-warni, seiring ribuan pepohonan dipterokarpa — tiap pohonnya mungkin memiliki 4000 bunga — berbunga selama masa 6 minggu, secara bergantian membuat lapar dan menimbuni pemakan bibit, hingga paling tidak sebagian bibit selamat hingga masa pengecambahan.
Berbunga secara massal dan diikuti dengan musim berbuah — yang telah diketahui akan sama dalam wilayah seluas 150 juta hektar (370 juta are) dan melibatkan 1.870 spesies — adalah anugerah bagi para pemakan bibit, termasuk babi hutan yang merupakan pemakan bibit utaman dalam ekosistem. Bibit dan babi hutan sangat lazim ditemui pada masa ini, hingga penduduk lokal melihat datangnya El Nino sebagai masa makmur, saat untuk memanen kacang Illipe untuk diekspor atau mengenyangkan diri dengan daging babi. Hubungan tersebut telah terjalin setua manusia telah tinggal di Borneo dan telah mengakar pada budaya masyarakatnya, mulai dari suku pedalaman hingga pedagang pesisir.
Namun, di beberapa tahun terakhir, sistem ini sepertinya telah mulai terputus akibat perubahan penggunaan tanah. Dr. CUrran, yang dianugerahi MacArthur genius award tahun 2006 berkat penelitiannya di area ini, mengatakan bahwa penebangan pohon yang intensif ini telah dibayar mahal oleh siklus reproduksi ini. Curran menemukan bahwa produksi bibit ini jatuh dari 175 pon per are di tahun 1991 hingga 16,5 pon per are di tahun 1998, meski saat itu merupakan masa tahun El Nino terparah menurut catatan. Sepertinya penebangan hutan telah mengurangi kepadatan lokal dan biomass dari pepohonan dewasa di bawah ambang kritis.
Lebih lanjut, pengenalan kebakaran pada daerah yang sebelumnya tak memiliki pengalaman terbakar, telah memperburuk tekanan kekeringan dan menyebankan transformasi radikal pada ekologi hutan. Saat ini, tahun el Nino tak lagi merupakan tahun kemakmuran. Seperti yang dikatakan Curran saat berkunjung ke California, “El Nino telah menjadi penghancur yang hebat, bukannya pemberi yang agung.” Perubahan penggunaan tanah telah merusak apa yang dulunya merupakan ekosistem yang terkait erat.
Dampak ini meluas ke seluruh Borneo, dengan kebakaran tahunan yang menyebabkan tersebarnya polusi (sering disebut ‘asap’) yang bisa menyebar hingga Australia, Cina, dan India. Kebakaran ini melepaskan jumlah karbon dioksida yang luar biasa, terutama saat hutan tanah gambut Borneo terbakar. Dengan 518 ton karbon per hektar – salah satu tingkat tertinggi biomass di planet – ekosistem ini bisa menyumbangkan hingga 2 milyar ton karbon dioksida ke atmosfer pada beberapa tahun, menjadikan Indonesia pembuat polusi rumah kaca terbesar ketiga, meski hanya memiliki ekonomi urutan ke 22 terbesar sedunia. Beberapa ilmuwan mengkhawatirkan bahwa kebakaran dan perubahan iklim merupakan lingkaran respon balik positif yang hanya memperburuk kondisi, menciptakan iklim yang semakin kering, semakin banyak kebakaran, dan emisi karbon yang lebih tinggi.
Penggundulan hutan: berkurangnya hutan di Borneo
Penggundulan hutan di Borneo awalnya rendah akibat tanah yang tak subur (relatif untuk pulau-pulau sekitarnya), iklim yang kurang mendukung, dan banyaknya penyakit. Penggundulan hutan ini mulai pada masa pertengahan abad keduapuluh dengan didirikannya perkebunan karet, walau ini memiliki sedikit dampak. Penebangan untuk industri meningkat pada tahun 1970 saat Malaysia menghabiskan hutan di semenanjungnya, dan mantan orang kuat Indonesia Presiden Suharto membagikan bidang-bidang tanah hutan yang luas untuk mempererat hubungan politiknya dengan para jendral tentara. Penebangan hutan semakin meluas secara signifikan pada masa 1980an, dengan jalan-jalan penebangan yang menyediakan akses menuju daerah-daerah terpencil bagi para pengembang dan pekerja yang menetap. Pada saat yang bersamaan, program transmigrasi pemerintah Indonesia sedang sangat gencar digalakkan, mengirimkan lebih dari 18.000 orang per tahun selama dekade tersebut untuk menetap di Kalimantan. Para transmigran ini, kebanyakan orang muda miskin tanpa tempat tinggal dari pulau-pulau pusat yang padat yaitu Jawa dan Bali, ditempatkan dengan biaya dari pemerintah di lahan yang kebanyakan tidak cocok untuk bertani secara tradisional. Tak mampu menopang hidupnya dengan pertanian biasa, kebanyakan dari mereka lantas bekerja di perusahaan-perusahaan penebangan.
Penebangan hutan di Borneo tahun 1980an dan 1990an adalah penebangan yang paling intensif yang pernah dilihat dunia, dengan 60-240 meter kubik kayu dipanen per hektar dibandingkan dengan 23 meter kubik per hektar di Amazon. Menurut Curran, pada masa itu lebih banyak kayu yang di ekspor dari Borneo daripada Amerika Latin dan Afrika digabungkan. Di Kalimantan, sebanyak 80 persen dataran rendah dijadikan konsesi untuk kayu, termasuk seluruh hutan bakaunya yang tampak.
Pada akhir tahun 1980an telah jelas bahwa Indonesia dan Malaysia dalam waktu dekat akan menghadapi krisis kayu akibat penebangan yang berlebihan. Permintaan dari pabrik kayu jauh melampaui produksi kayu di Malaysia dan Indonesia. Menurut WWF, pemerintah Indonesia merespon penghabisan sumber ini dengan membuat sistem dengan tiga tipe perkebunan kayu indostri: Hutan Taman Industri (HTI) pertukangan untuk kayu keras, HTI kayu energi untuk kayu bakar dan arang, dan HTI kayu serat untuk bubur kertas dan kertas. Memberikan suplai pada industri kertas yang meluas dengan cepat merupakan yang paling menguntungkan, jadi perkebunan dengan pertumbuhan yang cepat didirikan di daerah-daerah yang telah ditebangi sebelumnya termasuk daerah-daerah hutan perawan. Pemilik perkebunan yang diuntungkan oleh kayu-kayu di hilir memberikan subsidi pada jalan, pabrik penggergajian, dan peminjaman dengan bunga rendah yang diberikan di luar dana reboisasi nasional. Lebih lanjut, kurangnya pengawasan berarti bahwa hutan yang telah ditebangi tersebut jarang ditanam ulang — usaha dengan biaya besar pada tanah yang terdegradasi — mengakibatkan tekanan tambahan pada hutan yang terpencil. Menteri Kehutanan* melaporkan bahwa 3,3 juta hektar dialokasikan ke HTI, hanya 829.000 hektar — atau 25 persen — telah ditanami ulang pada tahun 2000 (*dikeluarkan oleh Global Forest Watch, Global Forest Watch Indonesia, dan World Resources Institute di tahun 2002). Mayoritas dari pembukaan hutan untuk perkebunan kayu di Kalimantan dilakukan oleh pemilik tanah luas. Antara tahun 1985 dan 1997 para pemilik tanah ini membuka hampir 1,7 juta hektar hutan untuk digantikan dengan pepohonan yang bisa dipanen, sementara para pemilik tanah yang tak luas membuka 467.000 hektar. Bila ditotal, perkebunan ini mencapai 2,1 juta hektar (25 persen) dari 8.5 juta hektar dari hutan yang dibuka pada masa tersebut.
Results of Forest Conversion. Derived from figures found in WWF 2005 and based on data from The World Bank: Indonesia: Environment and Natural Resource Management in a Time of Transitio, February 2001 |
-
More on PENEBANGAN in Borneo.
KELAPA SAWIT
Pada saat kayu yang bisa ditebang menjadi langka, ketertarikan pada perkebunan kelapa sawit mulai menyebar di Borneo. Walau pertama kali ditanam di Indonesia pada tahun 1848, baru pertengahan 1990an penanaman kelapa sawit mulai meningkat drastis. Di Malausia, produsen minyak kelapa terbesar di dunia saat ini, perebunan kelapa sawit meningkat dari 60.000 hektar di tahun 1960an menjadi 3 juta hektar di tahun 2001. Di tahun 2004, 30% dari perkebunan ini berada di Sabah, yang memiliki kondisi ideal untuk pertumbuhannya, dan 13% di Sarawak. Bagaimanapun, karena seluruh daerah yang cocok di Semenanjung Malaysia telah digunakan, ekspansi pastilah dilakukan di Borneo Malaysia dan, pada tingkat yang lebih besar, di Kalimantan. Penanaman kelapa sawit telah meningkat dari 186.774 hektar di sabah dan Sarawak pada tahun 1984 menjadi 1.673.721 hektar pada akhir 2003.
Di Kalimantan, kelapa sawit telah meluas lebih cepat: dari 13.140 hektar di tahun 1984 hingga nyaris 1 juta hektar di akhir 2003. Sementara, kebanyakan dari lahan-lahan baru yang dibeli untuk perkebunan ini kurang ideal untuk kelapa sawit, rendahnya perawatan tanaman, digabungkan dengan permintaan pertumbuhan dan sedikitnya pilihan mata pencaharian di kawasan itu, menjadikannya investasi rendah resiko bagi para pemilik perkebunan besar. Menurut studi Lisa Curran di Kalimantan, diperkirakan tingkat pengembalian modal lebih dari 26% selama 25 tahun untuk perkebunan kelapa sawit lebih luas dari 10.000 hektar, walau lahan yang kecil hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit lebih rendah. Pemilik perkebunan besar sangat tertolong oleh subsidi yang mencakup fasilitas untuk memproses bahan mentah dan jalanan.
Saat inim hampir separuh lahan pertanian Malaysia adalah kelapa sawit. Di Sabah dan Sarawak, kebanyakan (lebih dari 70 persen) perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh negara, dan pemilik lahan kecil hanya mengendalikan bagian kecil dari keseluruhan tanaman tersebut: 6 persen di Sabah, 3 persen di Sarawak. Di Indonesia, pembagiannya sangat berbeda. Para pemilik kecil secara kasar mengendalikan 30 persen dari perkebunan kelapa sawit, sementara perkebunan milik pemerintah hanya 20 persen. Sisanya, sekitar 50 persen, dimiliki oleh investor besar, yang mempunyai hasil tertinggi. Importir terbesar minyak kelapa Malaysia adalah Cina, India, Pakistan, Belanda, dan Mesir, sementara konsumen terbesar minyak kelapa Indonesia adalah India (3 kali lebih besar dari pengguna terbesar berikutnya), Cina, Belanda, Malaysia, dan Pakistan.
Minyak kelapa berasal dari buah tanaman tersebut, yang tumbuh dalam tandan-tandan yang beratnya bisa mencapai 40-50 kg. Sebanyak 100 kg bibit minyak biasanya menghasilkan 20 kg minyak, sementara satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah yang bisa digunakan dalam produksi biodiesel. Dengan harga 400 USD per ton kubik, atau 54 USD per barrel, minyak kelapa bersaing dengan minyak konvensional. Di masa depan, harga minyak kelapa diharapkan akan semakin menurun karena lebih banyaknya perkebunan kelapa sawit. Indonesia menargetkan untuk mempunyai 8-10 juta hektar perkebunan di tahun 2010.
-
Kenapa kelapa sawit menggantikan hutan hujan? | Walau lahan yang kecil hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit lebih rendah
(Klik) (Klik) |
KEBAKARAN
Kebakaran hutan umumnya jarang terjadi di Borneo, namun seperti yang telah diceritakan di atas, saat ini Borneo sama terkenalnya akan kebakaran hutannya dengan hutan hujannya. Kebanyakan kebakaran di Borneo dibuat untuk kepentingan membuka lahan. Walau pemerintah Indonesia telah kerap menyalahkan pertanian-pertanian skala kecil atas kebakaran yang terjadi, meurut WWF, pemetaan satelit menunjukkan bahwa pengembangan komersil untuk pengubahan lahan skala besar — terutama perkebunan kelapa sawit — adalah penyebab utama kebakaran 1997-1998.
Kebakaran 1997-1998 adalah yang terbesar yang pernah diketahui. Sekitar 9,7 juta hektar hutan dan lahan non-hutan terbakar, serta diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari 9 milyar USD dan melepaskan 0,8-2,5 giga ton karbon ke atmosfer. Di Kalimantan, lebih dari 6,5 juta hektar terbakar dan asapnya menyelimuti pulau tersebut. “Menyelimuti wilayah seluas 2.000 dari 4.000 km,” menurut WWF.
Saat ini, kebakaran dibuat setiap tahunnya untuk membuka hutan di wilayah-wilayah pertanian dan hutan yang telah terdegradasi. Saat kondisi kering, api ini dapat dengan mudah menyebar hingga ke hutan-hutan di dekatnya dan terbakar tak terkendali. Seperti yang dijelaskan WWF, hutan Borneo tidak mudah beradaptasi dengan kebakaran hutan.
Walau kebakaran memiliki peran penting dalam ekosistem hutan di banyak daerah di dunia, namun hutan hujan tropis terkecualikan, terutama karena munculnya dan meluasnya praktek-praktek manajemen yang tak mendukung. Normalnya, hutan hujan tropis tak akan terbakar karena kelembabannya. Lebatnya kanopi biasanya menjaga apa yang ada dibawahnya tetap lembab, walau di masa kekeringan. Terlebih lagi, material-material biologis membusuk sangat cepat di iklim yang lembab. Sebagai hasilnya, hanya sedikit material mudah terbakar yang terdapat di atas tanah. Dan pohon-pohon di daerah iklim tropis basah tidak bisa beradaptasi dengan kebakaran hutan. Mereka hanya memiliki kulit kayu yang tipis, dibandingkan pohon-pohon yang memiliki kulit lebih tebal dan tahan api di daerah iklim sedang.
Kebakaran hutan yang besar dan tak terkontrol saat ini muncul hampir setiap tahun di Borneo. Frekuensi dan intensitas dari kebakaran ini memunculkan ketegangan politis di kawasan tersebut. Negara-negara tetangga, terutama Malaysia dan Singapura menyalahkan Indonesia atas kegagalannya mengendalikan kebakaran. Sebaliknya, Indonesia menuduh perusahaan-perusahaan Malaysia sebagai pembuat api untuk kepentingan membuka hutan.
Sampai bulan Februari 2007, Indonesia belum menandatangani Perjanjian Polusi Asap Lintas Batas ASEAN, sebuah persetujuan lingkungan hidup yang ditandatangani oleh tujuh negara Asia Tenggara lainnya yang menyatakan akan mengendalikan polusi asap di kawasan tersebut.
PERBURUAN LIAR
Perburuan liar semakin menjadi permasalahan di Borneo sebagai akibat dari berkurangnya hutan dan meningkatnya permintaan akan protein dari hewan-hewan liar tertentu (terutama macan dahan dan beruang madu) bahkan hingga ke Cina. Menurut Jakarta Post, perdagangan gelap dari hewan-hewan yang dilindungi ini mencapai nilai 1,3 milyar di tahun 2003.
Orangutan juga sedang terancam keberadaannya akibat nilai mereka di pasar industri hewan peliharaan dan hiburan. WWF mencatat bahwa kebanyakan orangutan yang ditangkap adalah orangutan muda yang ditangkap setelah ibunya dibunuh. Kelompok-kelompok lingkungan hidup memperkirakan bahwa untuk setiap orangutan yatim piatu, antara satu hingga enam orangutan dibunuh. Di total, menurut WWF, 1.000 orangutan mungkin telah dibunuh atau ditangkap setiap tahunnya. Mengatasinya bukan hal yang mudah karena tingginya nilai hewan-hewan tadi dan rendahnya pendapatan para penduduk desa. Orangutan juga adalah hama tanaman yang dikenal suka memakan buah dari pohon palem.
DAERAH YANG DILINDUNGI
Di atas kertas, menurut WWF, 9 persen Kalimantan, 8 persen Sarawak, dan 14 persen Sabah berada di bawah beberapa bentuk perlindungan, dengan surat keberatan yang menyebutkan bahwa beberapa daerah yang seharusnya dilindungi tak benar-benar aman dari penggundulan hutan. Sebagai contoh, di Kalimantan hanya 82 persen dari “hutan lindung” yang benar-benar dilindungi. Lebih lanjut, antara tahun 1985 dan 2001, hutan lindung dataran rendah Kalimantan menyusut sekitar 56 persen, menurut Lisa Curran.
Laporan WWF menyebutkan Taman Nasional Kutai sebagai titik kasus. Kutai didirikan pada tahun 1936 sebagai 306.000 hektar yang dilindungi, namun diberikannya hak konsesi perkayuan dan eksplorasi minyak selama bertahun-tahun, luas taman ini berkurang hingga daerah resmi seluas 198.629 hektar. Di tahun 1980an dan 1990an, penebangan ilegal menyisakan banyak hutan dalam kondisi terdegradasi. Kebakaran di tahun 1997-1998 membakar 92 persen dari area taman.
Taman Nasional Gunung Palung di Kalimantan Barat juga merupakan contoh lain. Dari tahun 1998-2002 sebanyak 70 persen dari daerah penyangga dataran rendah telah digunduli dan sekarang kurang dari 9 persen dari daerah penyangga ini adalah hutan dataran rendah. Di dalam taman, 38 persen dari hutan dataran rendah telah dibuka oleh para penebang.
Sabah
Dari 7,37 juta hektar tanah di Sabah, 60 persen darinya telah dilindungi (2005), menurut Departemen Kementrian Konservasi Lingkungan Hidup.
Angka-angka tersebut memperkirakan bahwa sekitar 586.000 hektar — atau 16 persen dari total daerah hutan Sabah — ada di bawah suatu bentuk perlindungan. Di tahun 1997, Sabah memperkenalkan sistem “Sustainable Forest Management License Agreement” yang membutuhkan teknik-teknik penebangan dengan mengurangi dampaknya, walaupun penggunaannya dikenyataan masih terbuka untuk perdebatan. Sisa hutan sekitar 2,4 juta hektar boleh ditebangi dengan ijin penebangan kayu.
Sarawak
Menurut pemerintah negara, sekitar dua per tiga dari 8,22 juta hektar di Sarawak diselimuti oleh hutan alami. Menurut pemerintah, mereka akan melindungi sekitar 8 persen dari hutan alami negara dan sisanya, sebagai penyeimbang, akan digunakan untuk hutan komersial dan pertanian.
Kalimantan
Hampir seluruh hutan di Kalimantan merupakan milik negara. Di tahun-tahun belakangan ini, sentralisasi berarti hutan yang dulunya dikuasai oleh pemerintah pusat sekarang dikelola pada tingkat Kabupaten. Di atas kertas, hutan-hutan ini telah dipetakan dan dialokasikan untuk berbagai kegunaan, tapi kenyataannya berbeda, menurut WWF, yang mencatat “ukuran sebenarnya dan negara
Jadi menurut teori, sekitar 11 juta hektar hutan berada di bawah suatu bentuk perlindungan di Kalimantan.
Di daerah-daerah yang telah disiapkan sebagai “hutan produksi” ada tiga tipe perkebunan kayu industri: Hutan Tanaman Industri (HTI) pertukangan untuk kayu-kayu keras, HTI kayu energi untuk bahan bakar dan arang, serta HTI kayu serat kertas. Sistem ini disusun kembali tahun 1999 di bawah kebijakan desentralisasi Indonesia dan ijun yang bisa dibuat di tingkat Kabupaten.
PERMASALAHAN
Menurut WWF ada empat ancaman besar bagi hutan Borneo: konversi tanah, penebangan ilegal, manajemen hutan yang buruk, dan kebakaran hutan. Tambah lagi proyek industri berskala besar (jalanan, dan proyek hidroelektris seperti dam Bakun) serta perburuan menjadi suatu ancaman, namun dalam tingkat yang lebih rendah. Permasalahan lain adalah iklim korupsi, yang mendarah daging di segala tingkat pemerintahan di Kalimantan. Keputusan mengenai hutan saat ini dibuat di tingkat Kabupaten, dimana sering disebutkan bahwa petugasnya dapat dibeli dengan uang. Strategi memberikan hadiah motor sering berhasil memenangkan pengaruh di tingkat desa.
Masalah fundamental adalah bahwa pembangunan di Borneo digerakkan oleh industri yang memproduksi barang-barang baku — saat ini hanya ada beberapa alternatif ekonomi. Industri-industri ini jarang sustainabel, terutama bila hanya sedikit yang diinvestasikan ke dalam sumber daya-sumber daya manajemen jangka panjang.
(Klik) |
SOLUSI
Penyebab dari penggundulan hutan di Borneo tidaklah kompleks; namun solusinya yang rumit. Setelah penggundulan besar-besaran di daerah dataran rendah dan impor jutaan orang melalui program transmigrasi yang dilaksanakan dengan buruk, ada beberapa pilihan ekonomi di kebanyakan Borneo. Kehilangan pekerjaan di sektor kehutanan, banyak penduduk yang harus menghadapi dan memilih untuk menyerahkan sisa hutan yang ada untuk kelapa sawit atau melanjutkan dengan hidup ala kadarnya. Perkebunan kelapa sawit tentu saja menawarkan potensi ekonomi, terutama bila ditanam di lahan yang sudah gundul atau terdegradasi, namun tetap masuk akal juga bila mendirikannya di daerah hutan alami yang mulai langka. Penjaga keamanan sosial dibutuhkan untuk memastikan tak ada penganiayaan tenaga kerja dan rencana bagi hasil. The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah salah satu inisiatif yang berusaha menciptakan produksi minyak kelapa yang adil dan berkelanjutan.
Klik |
Konservasi juga merupakan prioritas penting di Borneo, terutama di daerah-daerah dengan keanekaragaman hayati yang selama ini telah berhasil selamat dari kebakaran dan penebangan hutan secara intensif. Inisiatif “Jantung Borneo” akhir-akhir ini adalah contoh yang sangat baik dari apa yang bisa dilakukan. Bagaimanapun, sangat penting bila nantinya daerah lindung ini telah didirikan, mereka dirawat. Sejarah yang ada dari ‘daerah-daerah lindung’ di Kalimantan — dimana persentase besar dari daerah yang seharusnya dilindungi justru ditebang dan dibagi-bagikan untuk pembangunan — adalah menyedihkan, namun sekarang saatnya untuk bergerak lebih jauh dari itu dan merencanakan masa depan dimana daerah konservasi benar-benar dilindungi dan penggunaan berkelanjutan dari daerah penyangga dimaksimalkan.
Selain menyiapkan daerah-daerah untuk dilindungi, sangat penting juga untuk mereboisasi hutan. Penggunaan spesies pohon asli seharusnya didukung melalui komisi dan program edukasi. Walau usaha ini bisa membutuhkan banyak dana, terutama di daerah yang telah sangat terdegradasi, penelitian dalam meningkatkan teknik penghijauan kembali bisa menguranginya, terutama dengan bantuan dari pemerintah negara-negara lain, LSM-LSM dan yayasan swasta. Lebih lanjut lagi, ada kemungkinan kuat bahwa di bawah persetujuan iklim nantinya, reboisasi hutan ini bisa memberikan keuntungan ekonomi langsung serta juga menstimulisasi ekonomi lokal dan memunculkan kesempatan berwiraswasta tingkat desa.
Penting untuk diketahui, bahwa beban dalam melindungi dan mereboisasi hutan di Indonesia tak seharusnya berada di pundak Indonesia sendiri. Kebanyakan dari penebangan hutan yang telah menggundulkan lanskap Kalimantan ini adalah akibat dari tingginya permintaan Barat di sebuah lingkungan dimana suatu pemerintahan yg lemah dan korup menujukkan bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pengawasan yang kuat terhadap sumber daya nasional yg ada. Indonesia saat ini adalah negara demokrasi — kebanyakan warga Indonesia tidak ada hubungannya dengan barang-barang rampasan ini dan tak bisa dianggap bertanggungjawab atas tindakan-tindakan pemerintahan klepto pada masa lalu. Indonesia, dimana lebih dari 80 juta dari 246 juta penduduknya hidup dengan kurang dari 1 USD per hari, masih harus bergelut dengan berbagai cara untuk menyediakan pelayanan dasar pada rakyatnya, termasuk pelayanan kesehatan, edukasi, dan infrastruktur dasar, finansial maupun fisik.
Malaysia, yang berbagi Borneo, seharusnya mengambil langkah awal dalam usaha-usaha tersebut. Dengan ekonomi yang kuat, dipadukan dengan kekayaan nasional dan pemerintahan sentral yang kuat, Malaysia memiliki beberapa alasan untuk tidak merajalela dalam penggundulan hutan dan mempromosikannya dengan berkelanjutan di dalam negaranya. Di luar wilayahnya, Malaysia seharusnya mengambil inisiatif untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang bersalah dalam tuduhan menyulut kebakaran untuk kepentingan membuka hutan di Kalimantan. Ini saatnya bagi pihak-pihak tersebut untuk dimintai tanggungjawab atas aksi mereka — lebih dari sekedar hukuman atau denda ringan.
Pendidikan
Upaya di dua bidang ini adalah kunci untuk meningkatkan taraf hidup di Borneo — terutama Kalimantan: pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dasar dapat melakukan banyak hal di daerah dimana banyak anak berusia 13 tahun tidak bersekolah. Kurikulum seharusnya mencakup beberapa informasi fundamental tentang lingkungan sekitar dengan penekanan pada pentingnya pelayanan ekosistem yang telah disediakan oleh hutan. Pendidikan juga penting bagi penduduk umumnya. Mengetahui kerugian yang diderita akibat penurunan kualitas lingkungan hidup dikombinasikan dengan belajar teknik pertanian dan kesempatan di bidang ekonomi yang disediakan oleh beberapa tanaman tertentu bisa sangat bermanfaat bagi penduduk pedesaan.
Kesehatan
Di daerah-daerah terpencil di Kalimantan, pelayanan kesehatan amat menyedihkan. Tanpa kepastian pelayanan kesehatan yang memadai, orang-orang tidak dapat produktif, merencanakan untuk jangka panjang, atau bahkan memberi makan keluarganya. Salah satu organisasi inovatif yang bekerja dalam kerangka masalah kesehatan di Kalimantan adalah Health In Harmony. Bekerjasama dengan pemerintah lokal dan masyarakat setempat, program ini sedang mengembangkan fasilitas medis untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas baik namun berbiaya rendah bagi masyarakat miskin; program pelatihan lingkungan dan medis bagi penduduk lokal untuk membantu meningkatkan kemapanan; dan program pengembangan masyarakat ramah lingkungan.
MASA DEPAN BORNEO
Ramalan mengenai luasnya hutan oleh World Bank dan United Nations Environment Programme cukup mengecilkan hati. Proyeksi ini tak harus menjadi kenyataan. “Jantung Borneo” adalah langkah maju menuju masa depan dimana Borneo memiliki kembali hutan-hutannya dan keanekaragaman hayatinya, namun masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan kesehatan ekologis jangka panjang dari penghuni dan hutan pulau ini.