General Mills berjanji untuk hanya memasok minyak kelapa yang berkesinambungan mulai 2015.
Satu dari pembuat makanan terbesar dunia, General Mills, berjanji untuk hanya memasok dari minyak kelapa yang berkesinambungan dan bertanggungjawab dalam waktu lima tahun ini. Dengan pemberitahuan ini, General Mills menjadi raksasa pangan terbaru yang berjanji untuk menjauhi sumber minyak kelapa yang bermasalah, yang digunakan di semuanya dari makanan olahan hingga produk kesehatan dan kecantikan. Lebih awal, Nestle membuat sebuah janji yang mirip setelah kampanye media sosial yang buruk selama beberapa bulan, sementara Unilever, pembeli minyak kelapa terbesar dunia, telah bekerja sama dengan kelompok lingkungan selama bertahun-tahun.
Dalam sebuah pernyataan, General Mills mengatakan bahwa mereka berencana “untuk membantu memastikan pembeliah mereka tidak terkait dalam cara apapun dengan penggundulan hutan dari hutan hujan dunia – dan lebih jauh lagi untuk memperkuat pengembangan praktek produksi minyak kelapa berkesinambungan yang tersertifikasi.”
Kritik terang-terangan pada General Mills, Rainforest Action Network (RAN), menyambut keputusan tersebut dalam sebuah rilis berita. RAN telah berkampanye melawan General Mills sejak Januari saat mereka menggelar banner raksasa di markas perusahaan tersebut yang mengutuk raksasa makanan itu atas penggundulan hutan.
Klik untuk memperbesar. |
“Sebagai sebuah perusahaan dengan sebagian merk yang digemari di negaranya, termasuk Cheerios, Betty Crocker, dan Hamburger Helper, keputusan General Mills untuk menyelesaikan masalah penggundulan hutan dalam rantai pasokannya merupakan sinyal industri yang kuat bahwa minyak kelapa merupakan masalah serta dapat dan harus diselesaikan. Kebijakan baru perusahaan tersebut menghormati hak pribumi, melindungi hutan hujan dan lahan gambut, serta menetapkan target untuk 100 persen memasok minyak kelapa yang bertanggungjawab lingkungan sejak 2015,” tulis RAN dalam sebuah pernyataan.
Organisasi tersebut mengatakan bahwa mereka kini akan berfokus pada raksasa agrikultur lain, Cargill, untuk menekan mereka agar menerapkan tujuan yang mirip dengan General Mills, Unilever, dan Nestle.
Sementara General Mills hanya menggunakan sepersepuluh dari satu persen minyak kelapa dunia, aktivis lingkungan hidup secara jelas melihat ini sebagai rangkaian kemenangan satu lagi melawan perusahaan-perusahaan ternama dunia yang membeli minyak kelapa dari Malaysia dan Indonesia di mana tutupan hutan telah turun secara dramatis dalam beberapa dekade terakhir ini terkait dengan bangkitnya perkebunan minyak kelapa, dan juga penebangan serta pengolahan bubur kayu dan kertas. Kritik kelompok lingkungan hidup bukannya ompong: sebuah penelitian dalam Conservation Letters menemukan bahwa 55-59 persen perkebunan minyak kelapa di Malaysia yang didirikan antara 1990 dan 2009 berada di atas lahan hutan. Sementara penelitian yang lebih baru menemukan bahwa sejak 1980 hingga 2000 lebih dari 80 persen ekspansi pertanian di negara-negara tropis muncul dengan mengorbankan hutan.
Penggundulan hutan menyebabkan hilangnya keragaman hayati di sebagian habitat terkaya di dunia, konflik dengan kelompok pribumi yang bergantung pada hutan untuk penghidupan mereka, perusakan sumber-sumber air murni yang vital, dan emisi gas rumah kaca yang secara keseluruhan mengalahkan sektor transportasi.
Awal mula perkebunan minyak kelapa di Sumatera, Indonesia di bagian depan, bukit berhutan di belakang. Foto oleh: Rhett A. Butler. |
“Ini merupakan masalah yang mendesak untuk planet yang kita bagi,” ujar Jerry Lynch, Chief Sustainability Officer General Mills hari ini. “Peningkatan permintaan dunia untuk minyak kelapa memberikan tekanan pada sebagian ekosistem hutan hujan dunia yang paling berharga.”
Meski begitu, minyak kelapa telah menjadi komoditas yang sangat menarik karena merupakan bibit minyak paling produktif (jauh melebihi kedelai, yang terkait pada penggundulan hutan di Amazon). Pendukung industri kelapa sawit berpendapat bahwa industri minyak kelapa menarik Malaysia dan Indonesia keluar dari kemiskinan. Meski industri ini memberikan dasar pajak yang besar pada pemerintah setempat, kritik menyebutkan bahwa banyak dari pekerjanya hidup di bawah garis kemiskinan.
Walau kampanye melawan penggundulan hutan yang dikaitkan pada minyak kelapa terus berhasil dengan perusahaan besar di pasar dunia barat, aktivis belum bisa menundukkan konsumen terbesar minyak kelapa: Cina dan India.