Site icon Conservation news

Rencana Konservasi Hutan Indonesia Mungkin Tidak Cukup untuk Kurangi Emisi

Sepertiga dari emisi gas rumah kaca Indonesia dari penggundulan hutan berasal dari wilayah yang tidak secara resmi disebutkan sebagai “hutan” membuat usaha untuk mengurangi emisi dari penggundulan dan degradasi hutan (REDD+) akan gagal kecuali mereka mencakup karbon di seluruh lanskap negara, sebuah laporan baru yang dipublikasikan oleh World Agroforestry Centre (CGIAR) memperingatkan.



Laporan kebijakan itu menunjukkan bahwa hingga 600 juta ton emisi karbon Indonesia “berada diluar wilayah yang secara institusional disebut sebagai hutan” dan karenanya tidak terhitung dalam kebijakan REDD+ nasional saat ini, yang, jika diterapkan, akan memungkinkan Indonesia untuk mendapatkan kompensasi dari negara-negara industri untuk melindungi hutan dan lahan gambut padat-karbon-nya sebagai mekanisme perubahan iklim.



Sementara REDD+ dilihat sebagai jalan yang menjanjikan untuk membiayai konservasi hutan sambil secara serentak memperlambat perubahan iklim dan menciptakan kesempatan untuk pembangunan yang berkesinambungan, REDD+ di Indonesia penuh dengan kekhawatiran atas apa yang menjadikan “hutan”. Sektor perhutani berkeinginan melihat perkebunan diklasifikasikan sebagai hutan, akan dapat menyebabkan pembiayaan karbon yang menyubsidi pengalihan fungsi hutan “yang terdegradasi” dan lahan untuk kayu – beberapa di antaranya dapat menyimpan jumlah karbon yang substansial – ke dalam industri kayu dan perkebunan kelapa sawit, sebuah ide yang oleh pemerhati lingkungan dianggap mengerikan.




Menurut beberapa estimasi, Indonesia saat ini adalah pembuat emisi gas rumah kaca terbesar ketiga, terutama sebagai hasil dari penggundulan hutan dan degradasi rawa gambut yang secara bersamaan secara kasar terhitung sebesar 80 persen dari emisi negara.

Laporan CGIAR menggarisbawahi resiko ini, menekankan bahwa stok karbon diluar hutan institusional dapat habis pada tahun 2032 jika trend saat ini berlanjut. Disebutkan bahwa “kebocoran”, atau penggundulan hutan yang berpindah dari wilayah yang dilindungi dari eksploitasi, akan menjadi penyebab utama dari emisi ini.



“Jika emisi karbon dari luar hutan institusional ikut dihitung, menjadi jelas bahwa tidak ada pegurangan emisi bersih di Indonesia,” laporan itu menyebutkan.



Untuk menghindari hasil ini dan menyelesaikan debat atas definisi hutan, laporan CGIAR mengusulkan sistem perhitungan karbon yang lebih komprehensif, dinamakan “Pengurangan Emisi dari Segala Penggunaan Lahan” (Reducing Emissions from All Land Uses / REALU).



“REALU dapat lebih efektif mengurangi emisi bersih, dan memastikan aktivitas pengurangan yang lebih sesuai dengan kondisi lokal,” sebutnya. “Pendekatan REALU dapat mengatasi definisi hutan yang tidak jelas dan membantu menangkap kebocoran emisi antar sektor.”



Laporan tersebut berpendapat bahwa pendekatan yang lebih menyeluruh akan lebih baik dalam menghitung karbon yang tersimpan dalam tanah seperti emisi dari pertanian. Laporan ini memberi kesimpulan dengan menekankan bahwa sementara hasil masih sangat awal, “pemikiran ulang” atas rencana kebijakan REDD+ mungkin saja bijaksana.



“Rencana REDD+ di Indonesia (dan mirip dengan kondisi di tempat lain) akan membutuhkan pemikiran ulang yang serius,” tulis penulisnya. “Ini juga akan membawa rencana REDD+ internasional kembali ke perencanaan, terutama dalam perdebatan ringan untuk mencari pendekatan komprehensif untuk pengurangan emisi dari pertanian.”



KUTIPAN: Ekadinata A; van Noordwijk M; Dewi S dan Minang P A. 2010. “Pengurangan emisi dari penggundulan hutan, di dalam dan di luar ‘hutan'”. ASB PolicyBrief 16. ASB Partnership untuk Tropical Forest Margins, Nairobi, Kenya. Bisa dilihat di: www.asb.cgiar.org

Exit mobile version