Wawancara dengan Agus Purnomo dan Yani Saloh, Asisten Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Perubahan Iklim.
Akhir tahun lalu, Indonesia membuat berita di dunia dengan janji yang berani untuk mengurangi penggundulan hutan, yang menghabiskan hampir 28 juta hektar (108 mil persegi) hutan antara tahun 1990 dan 2005 dan merupakan sumber sekitar 80 persen dari emisi gas rumah kaca. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Indonesia dengan sukarela akan memotong emisi sebesar 26 persen – dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional yang sesuai – dari batas dasar yang diproyeksikan di tahun 2020.
Bulan lalu, Indonesia akhirnya mulai merinci rencananya, yang mencakup moratorium dua tahun pada konsesi perhutanan baru di lahan hutan hujan dan rawa gambut dan selama lima tahun ke depan akan didukung oleh kontribusi Norwegia sebesar satu milyar dolar, di bawah International Climate and Forests Initiative negara-negara Skandinivia. Namun, sementara uang sudah mulai mengalir untuk skema tersebut, tantangan yang mengerikan masih ada dalam perjuangan untuk mengurangi penggundulan hutan. Kepentingan kuat – terutama dalam sektor kehutanan – memiliki sedikit keinginan untuk mengubah status quo dengan memasukkan transparansi pada sistem yang memperkaya mereka. Sementara korupsi masih tetap mudah menyebar, penegakan hukum lingkungan yang telah ada masih jarang dan tidak konsisten diterapkan, dan sistem pendirian dan pengelolaan kepemilikan tanah di sebagian kepulauan masih merupakan lahan tambang yang legal dan politis. Meski sebagian yang optimis mengatakan bahwa pemasukan biaya karbon dapat memunculkan niat politis untuk mengubah sistem, pesimis memperdebatkan bahwa uang akhirnya hanya akan tersia-sia, bahkan digunakan untuk membiayai pengubahan fungsi hutan alam untuk pengolahan kayu dan minyak kelapa skala-industri.
Meski begitu, banyak yang dipertaruhkan. Indonesia adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, hanya di belakang Cina dan Amerika Serikat, di mana bahkan Indonesia bukanlah superpower industri. Keseluruhan emisi Indonesia berasal dari sektor kehutanan dan pertanian, yang menghasilkan hanya sebagian kecil dari total aktivitas ekonomi (di tahun 2007 diestimasikan keuntungan Indonesia dari sektor tersebut USD 0,34 sen per ton of CO2, atau hanya butiran kecil dari nilai yang tampak di pasar karbon Eropa). Lebih jauh lagi, hutan menyediakan makanan, air, dan kehidupan bagi puluhan juta orang Indonesia. Perusakan hutan menempatkan sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan ini pada resiko, namun pembayaran pelestarian hutan dapat membantu memastikan penggunaan yang berkesinambungan dan menyediakan insentif ekonomi bagi pemindahan pembangunan perkebunan ke jutaan hektar lahan tak berhutan yang terbengkalai dan terdegradasi yang terdapat di seluruh kepulauan Indonesia.
Rencana untuk Uang Norwegia
Indonesia berencana menggunakan milyaran dolar komitmen Norwegia selama lima tahun ke depan dalam tiga tahap. Pertama, yang berlangsung dari sekarang hingga akhir tahun, akan mendukung aktivitas “kesiapan” termasuk pengembangan strategi REDD (Pengurangan emisi dari penggundulan hutan dan degradasi hutan [termasuk lahan gambut]) nasional; pemilihan daerah untuk proyek percobaan (kandidatnya mencakup hutan di Papua, Sumatera, dan Kalimantan); pendirian instansi-instansi pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) independen untuk mengikuti perkembangan dari pengurangan penggundulan hutan; pendirian kantor REDD nasional yang melaporkan langsung ke Presiden; dan penentuan nstrumen pendanaan jangka panjang untuk program tersebut.
Penggundulan hutan di Sumatera. Foto oleh Rhett A. Butler 2009 |
Tahap dua, yang akan berlangsung dari Januari 2011 hingga akhir 2014, akan mengoperasionalkan mekanisme pendanaan jangka panjang; meluncurkan proyek percobaan pertama; pelaksanaan moratorium dua tahun pada konsesi baru; pembuatan database lahan yang terdegradasi; peluncuran proyek percobaan kedua (awal tahun 2012); dan menyiapkan sistem MRV yang lebih maju. Tahap ketiga, yang akan dimulai tahun 2014 dan terus berlangsung, akan membantu Indonesia untuk memperluas program pengurangan emisinya dan mungkin menggabungkan ini ke dalam kerangka kerja iklim di kedepannya yang mungkin menggantikan Protokol Kyoto yang akan berakhir di tahun 2012.
Kontroversi
Namun, meskipun rencana awal telah ada, beberapa kebingungan masih tetap ada. Sebagai contoh, tak lama setelah kesepakatan Norwegia dibuka dan moratorium diumumkan, pejabat dari berbagai kementrian pemerintah dan badan industri tampaknya membuat pernyataan yang berlawanan di pers. Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan pada Reuters bahwa pemerintah tidak akan menarik izin perhutani apapun sehari setelah Agus Purnomo, kepala Kesekretariatan Dewan Perubahan Iklim Nasional Indonesia, mengatakan bahwa pengembang yang tidak memiliki izin legal untuk menebangi lahan hutan dapat kehilangan konsesi mereka di bawah program pengurangan emisi. Sementara seminggu setelah perjanjian ditandatangani, Wandojo Siswanto, kepala kelompok kerja unit iklim di Kementrian Kehutanan, mengatakan Indonesia akan menegosiasikan ulang perjanjian setelah jelas bahwa Norwegia hanya menyetujui untuk mendukung program “REDD”, dan bukannya program “REDD+” yang akan mencakup penghutanan kembali dan “pengelolaan hutan yang berkesinambungan”, atau penebangan dengan mengurangi dampaknya.
Agus Purnomo (kiri) dan Yani Saloh (kanan) |
Untuk menjernihkan beberapa perincian dari program hutan baru Indonesia dan komitmen jutaan dolar Norwegia, Purnomo dan koleganya Yani Saloh – keduanya yang ditunjuk sebagai Asisten Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Perubahan Iklim di awal 2010 – menjawab beberapa pertanyaan dari mongabay.com. Purnomo dan Saloh mengatakan bahwa rekanan dengan Norwegia telah mengubah persepsi tentang pelestarian hutan: “Akan ada pendapatan bagi berbagai instansi pemerintahan dan masyarakat lokal yang menjaga lahan gambut dan hutan alam primer.”
Purnomo dan Saloh mengemukakan bahwa perusahaan perkebunan dan perhutani serius suportif dalam moratorium konsesi baru untuk pengubahan fungsi lahan gambut dan hutan alam primer, dan seluruh perusahaan akan tunduk pada peraturan yang dikeluarkan sebelum moratorium tersebut, termasuk pelarangan pengubahan fungsi lahan gambut yang lebih dalam dari tiga meter (10 kaki). Mereka juga mengatakan bahwa kontribusi Norwegia – paling tidak di tahap selanjutnya – akan berdasar pada performa, berarti jika Indonesia gagal mengurangi penggundula hutan, ia tidak akan dibayar.
Purnomo dan Saloh menyimpulkan dengan mendebat bahwa konsumen di Eropa dan Amerika Serikat perlu untuk melakukan usaha dukungan untuk mengurangi penggundulan hutan, terutama membayar sedikit lebih untuk minyak kelapa dan kayu dari sumber yang bertanggungjawab.
“Boikot pada seluruh produk hutan Indonesia akan meningkatkan lebih jauh tekanan pada hutan yang masih tersisa karena penebang dan masyarakat lokal di hutan akan harus menebang lebih banyak pohon, dan karenanya meningkatkan penggundulan hutan, untuk memasok pasar Asia Timur yang murah sebagai penggantinya.
WAWANCARA DENGAN AGUS PURNOMO DAN YANI SALOH
mongabay.com: Sekarang setelah Norwegia menaruh USD 1 milyar di meja, apakah pembuat kebijakan dan pembuat keputusan lain melihat pelestarian hutan sebagai sebuah kesempatan daripada sekedar isu “kepentingan khusus” dari para pemerhati lingkungan?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Secara singkat, ya. Rekanan dengan Norwegia telah mengubah persepsi, hingga titik tertentu, tentang pelestarian hutan. Akan ada pendapatan bagi berbagai instansi pemerintahan dan masyarakat lokal yang menjaga lahan gambut dan hutan alam primer. Bagaimanapun, pembayaran yang cepat dibutuhkan untuk menjaga momentum agar mengarah pada kebersinambungan.
mongabay.com: Apa rencana dalam penggunaan kontribusi Norwegia? Bagaimana dengan jangka panjang (yaitu tahun 2020)?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Dana akan digunakan untuk mempercepat pertumbuhan investasi Indonesia di pembangunan ramah lingkungan, dan menyediakan modal untuk berbagai inisiatif, termasuk pembiayaan mikro untuk proyek pembangunan masyarakat, peningkatan kebersinambungan dan hasil panen perkebunan kecil, dan insentif untuk petani minyak kelapa industri untuk menggunakan daerah tanah mineral yang terdegradasi untuk pengembangan perkebunan baru. ??
Program ini akan menggulirkan rangkaian proyek percobaan selama beberapa tahun ke depan di beberapa propinsi yang terpilih sebelum menaikkannya pada tingkat nasional. ??Selama tahap pertama, yang akan berlangsung hingga akhir tahun, instansi baru akan didirikan – instansi yang akan melaporkan langsung ke presiden. Instansi baru ini akan mendapat dana dari negara rekanan REDD-Plus dalam rangka untuk memprioritaskan proyek dan menyatukan usaha pemerintah lokal, regional, dan nasional. Untuk memastikan program REDD-Plus bermanfaat bagi masyarakat yang tinggal di hutan, instansi baru ini akan melibatkan wakil dari pemerintah lokal dan pusat, organisasi kemasyarakatan sipil, dan masyarakat lokal. ??
Institusi MRV independen akan didirikan untuk memantau, melaporkan, dan memverivikasi emisi dan pengurangan emisi. Lebih lanjut, usaha ini akan mencakup peningkatan penegakan peraturan kehutanan, pembuatan database lahan yang terdegradasi dan proses lebih baik untuk mengatasi perencanaan penggunaan lahan, kepemilikan lahan, dan konflik atas pengakuan lahan dan tuntutan kompensasi.
Letter of Intent ini secara spesifik melindungi hak masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam pembangunan rendah karbon, dan hak instansi yang bertanggungjawab untuk program dan pembayaran REDD+. Mereka akan memiliki peran, seperti juga masyarakat sipil, dalam pengaturan persiapan institusi baru ini untuk menggerakkan pembangunan rendah karbon. Mereka akan memberikan masukkan ke dalam rencana pembangunan rendah karbon pada tingkat propinsi, termasuk percobaan-percobaan awal. Dukungan dari masyarakat lokal adalah jantung dari pembangunan ekonomi, dan kami juga menyadari peran unik yang dimainkan oleh masyarakat lokal dalam melestarikan penggundulan hutan dan melayani lingkungan.
Rencana pendahuluan Indonesia dari bekerjasama dengan Norwegia |
mongabay.com: Moratorium ini rupanya mengagetkan sebagian pihak–apakah itu sebabnya kami mendengar pesan yang tercampur-aduk keluar dari beberapa kementerian?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Tidak ada pesan yang tercampur-aduk. Moratorium ini untuk konsesi baru (diulang baru) pada konsesi hutan alam primer dan lahan gambut, untuk dua tahun. Penekankan dari berita tersebut bahwa pemerintah ‘memicu kegembiraan’ dengan membatalkan konsesi yang ada adalah menyesatkan. Mereka yang bereaksi pada berita seperti itu tertipu atau mungkin memiliki kepentingan dalam pikirannya untuk menggunakan lahan gambut tertentu yang masih tersisa atau mengeluarkan kayu-kayuan dari hutan alam primer dengan dalih pengembangan pengolahan kayu atau minyak kelapa.
Perusahaan perkebunan dan perhutani yang serius memberi dukungan pada kebijakan moratorium ini, yang telah dipraktekkan selama delapan bulan. Tentu saja, ada anggota minoritas yang nakal dari asosiasi perkebunan minyak kelapa dan kayu, seperti kelompok kepentingan lain di masyarakat. Kami berharap debat terbuka yang sehat, melalui media, akan membuat elemen-elemen tersebut bisa menyesuaikan diri dengan strategi besar dari pengelolaan hutan yang berkesinambungan dan perkebunan yang berkesinambungan yang sedang diimplementasikan secara serius oleh pemerintah di tahun-tahun ke depan.
mongabay.com: Apakah Anda memiliki klarifikasi atas status konsesi perhutani yang ada di bawah moratorium tersebut? Apakah ada kemungkinan pemegang izin akan diberikan tawaran pilihan untuk menukar kepemilikannya atas lahan hutan alami?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Moratorium konsesi baru ini akan efektif di tahun 2011. Selama tahap tersebut, Indonesia akan menempatkan moratorium dua tahun dalam mengeluarkan konsesi baru untuk pengubahan fungsi lahan gambut dan hutan alam primer. Aktivitas bisnis apapun termasuk perkebunan, pertambangan, atau pertanian yang berhasil mendapatkan izin sebelum tahun 2011 akan dikecualikan dari moratorium tersebut. Mereka dapat melanjutkan rencananya tapi tetap harus mematuhi peraturan yang telah dikeluarkan sebelum moratorium tersebut, seperti pelarangan pengubahan fungsi lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter.
Industri perhutani, pengelolaan hutan, dan aktivitas pertanian dapat terus berlangsung di bawah izin yang telah ada. Sementara untuk ekspansi mereka yang telah direncanakan, pemerintah akan menyediakan informasi tentang hutan terdegradas yang dapat digunakan, dan juga lahan non-hutan di mana pembangunan seperti itu dapat dilakukan.
Kerjasama internasional, seperti kemitraan Indonesia-Norwefia, dapat membantu meningkatkan kebersinambungan dari produksi minya kelapa kami dengan mengarahkan ekspansi industri ke daerah fertil di tanah mineral yang sudah gundul.
Ada kebijakan implementasi yang terperinci yang akan dikembangkan oleh pemerintah dengan berkonsultasi pada industri dan masyarakat sipil, untuk menggunakan lahan hutan yang terdegradasi untuk ekspansi konsesi hutan dan pertanian, termasuk kemungkinan pertukaran lahan dari konsensi yang telah ada.
mongabay.com: Bagaimana dengan kasus di mana pengembang tidak memiliki izin yang berlaku untuk mengembangkan lahan gambut dan hutan alam? Apakah lahan-lahan mereka dapat disita?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Semua pemain harus mengikuti peraturan dari lahan tersebut. Tapi bila mereka tidak memiliki izin yang berlaku untuk mengembangkan lahan gambut atau hutan alam primer, maka mereka tidak akan diizinkan untuk melanjutkan rencana mereka. Menurut Kementerian Kehutanan, tidak ada izin yang dikeluarkan untuk pengubahan fungsi hutan alam primer ataupun lahan gambut sejak tahun lalu.
Pemerintah akan mengambil langkah yang berhati-hati untuk memecahkan konflik penggunaan lahan dan kepemilikan lahan. Penegakan karena proses hukum akan menjadi kepentingan terbesar dalam usaha kami untuk mengurangi pengubahan dan okupasi ilegal atas hutan dan lahan gambut.
mongabay.com: Dapatkah dana Norwegia digunakan untuk mendukung pengembangan lahan pertanian yang terbengkalai dan ladang rumput alang-alang untuk perkebunan?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Negosiasi bilateral tentang perincian dari apa yang dapat didanai akan segera dimulai. Dari sudut pandang pemerintah Indonseia, lahan terdegradasi, seperti lahan pertanian yang terbengkalai dan ladang rumput alang-alang, merupakan sumber ekonomi yang berharga yang akan dikembangkan untuk kemakmuran rakyatnya.
mongabay.com: Norwegia telah mengindikasikan bahwa dana mereka tidak akan mendukung rencana Indonesia yang telah diumumkan sebelumnya untuk menghutankan kembali lebih dari 20 juta hektar lahan. Seberapa banyakkah penghutanan kembali ini yang sebelumnya akan dijadikan perkebunan? Akankah ada daerah dihutankan kembali dengan menggunakan campuran beranekaragam spesies pohon asli?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Uang Norwegia akan mendanai berbagai proyek dengan tingkat yang berbeda, banyaknya proyek yang berbeda jenis ini dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi kami ke jalur pertumbuhan rendah karbon. Sebagian mungkin usaha akar rumput untuk pembangunan yang berkesinambungan, seperti melalui pembiayaan mikro untuk masyarakat lokal. Sebagian uang akan masuk ke proyek pembangunan tingkat propinsi tradisional untuk membantu mengadakan infrastruktur rendah karbon. Dana lainnya bisa membantu pemilik lahan skala kecil untuk meningkatkan produktivitasnya, atau memberikan insentif bagi perusahaan minyak kelapa untuk menukar konsesi hutan mereka dengan konsesi di lahan yang terdegradasi.
Sebagian dari uang tersebut akan digunakan di tahapan awal untuk mendirikan kebutuhan infrastruktur pembangunan ramah iklim, meningkatkan sistem perencanaan spasial, sehingga semua pihak akan memiliki akses ke data yang akurat, mengembangkan kapasitas kami dan meningkatkan kesadaran publik. Ini juga akan digunakan untuk membantu membuat sistem verivikasi dan penghitungan pengurangan emisi karbon.
Di dua tahap pertama dari Kemitraan ini, fokus akan pada pengembangan REDD+ di tingkat satu atau dua propinsi. Organisasi komunitas lokal di propinsi yang terpilih akan memiliki akses pada dana melalui Insatansi REDD+ yang baru. Ketika kami memiliki implementasi REDD+ skala penuh atau di seluruh negara, organisasi komunitas lokal yang tergantung pada sumber hutan dan lahan gambut dapat mengusulkan program yang dapat dibiayai Instansi tersebut, dari Norwegia dan sumber dana internasional lainnya.
Estimasi keberadaan dan kehilangan tutupan hutan sub-nasional dan nasional. S-K merupakan kelompok Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera digabungkan. J-N-S-M-P merupakan kelompok Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua digabungkan. Gambar milik Hansen et. al. 2009.
mongabay.com: Apakah moratorium ini mencakup pelarangan konsesi penebangan baru?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Moratorium ini akan diterapkan pada aplikasi konsesi penebangan di hutan alam primer dan lahan gambut alami. Penundaan pengeluaran izin konsesi baru ini mencakup semuanya dan akan diterapkan pada semua pihak yang relevan. Kami transparan dalam mengumumkannya sebelum waktunya.
mongabay.com: Agus, karena pekerjaan Anda dengan Transparency International, Anda sangat sadar akan maraknya korupsi di sektor kehutanan. Apakah ada sebagian uang Norwegia yang digunakan untuk meningkatkan transparansi dalam kebijakan penggunaan lahan?
Agus Purnomo: Dana Norwegia, pada tingkat selanjutnya, akan menjadi pembayaran berdasar keberhasilan pengurangan emisi yang terverivikasi. Sebagian pengurangan akan datang dari penyelesaian konflik penggunaan lahan, termasuk pengembangan database untuk lahan terdegradasi. Aksi implementasi seperti ini akan memenuhi syarat bagi pendanaan internasional, termasuk dana Norwegia.
Korupsi merajalela di dekade-dekade akhir pembangunan Indonesia, meski survei independen terakhir pada korupsi di Indonesia menghasilkan gambaran yang penuh harapan atas peningkatan yang signifikan dan stabil pada praktek pemerintahan yang baik. Laporan Human Rights Watch 2009 mengakui
- peningkatan di pengelolaan kehutanan di bawah administrasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan keberhasilan yang signifikan dalam usaha-usaha anti-korupsi telah menghasilkan keuntungan pada nilai Indonesia dalam penilaian Bank Dunia tentang pengendalian korupsi (nilai Indonesia hampir dua kali lipat dari tahun 2003 ke 2007). Lolosnya Undang-undang Kebebasan Informasi dan pendirian unit intelijen keuangan independen, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), bersamaan dengan undang-undang anti pencucian uang dan peraturan bank untuk identifikasi konsumen beresiko tinggi dan pelaporan transaksi yang mencurigakan juga merupakan perkembangan positif.
Kami menerima rekomendasi dari laporan di atas mengenai penguatan usaha anti korupsi di sektor kehutanan dan perkebunan, serta telah memulai koordinasi yang lebih kuat di antara instansi penegak hukum untuk mencegah memburuknya penggundulan hutan dan degradasi hutan, sambil juga mengurangi hilangnya pendapatan dari praktek pengelolaan yang salah dan korupsi di sektor-sektor tersebut.
mongabay.com: Terlepas dari apa yang telah didiskusikan, apakah halangan terbesar untuk mengurangi penggundulan hutan di Indonesia?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Kerumitan pengelolaan sumber hutan di Indonesia termasuk tinggi. Kami memiliki tantangan yang berbeda dalam pengelolaan hutan kami, dibandingkan dengan Brazil. Tantangan terbesar Brazil dalam masalah kehutanan adalah peternakan hewan, sementara tantangan Indonesia adalah penebangan liar, ekspansi kelapa sawit, kebakaran hutan, pengubahan fungsi hutan dan lahan gambut untuk aktivitas pengembangan ekonomi.
Industri pengolahan kelapa sawit dan kertas merupakan industri penting di dunia, dan sangat penting bagi penghidupan Indonesia. Kelapa sayit juga penting bagi pasokan pangan dunia, karena merupakan bibit minyak yang bisa dimakan dan paling efisien. Ini memiliki potensi untuk menjadi biofuel yang berguna. Petani minyak kelapa berada di depan semua petani bibit minyak yang dapat dimakan lainnya di Amerika Utara dan Eropa dalam menyiapkan standar bagi keberlangsungannya. Namun juga benar bahwa industri ini ikut menyumbang pada terjadinya penggundulan hutan saat ini, sumber penting emisi karbon, dan yang mana memiliki ongkos lingkungan tambahan bagi Indonesia.
Bahkan bahwa kita percaya bahwa kita memiliki lahan yang cukup untuk pertumbuhan industri ini, lahan yang sesuai dan subur yang telah dibabat habis atau telah terdegradasi dengan cara-cara lain. Pertanyaannya adalah bagaimana untuk menggeser perkebunan baru ke lahan terdegradasi, dengan cara yang masuk akal secara ekonomi. Penundaan dua tahun ini diterapkan dalam tahap kedua di kesepakatan kami, dan ini akan membuat kami dapat bekerja dengan industri dan berfokus pada usaha kami untuk memindahkan industri ini ke pijakan yang lebih berkesinambungan. Perubahan di peraturan pemerintah juga diperlukan untuk merasionalisasi rencana spasial kami. Usaha-usaha ini akan meningkatkan keyakinan bagi investor dan membantu kami mengamankan pasar jangka panjang untuk ekspor kami.
Kami dapat menciptakan penghidupan yang lebih baik di Indonesia melalui ekspansi pertanian yang berkesinambungan sambil mengurangi emisi gas rumah kaca dunia.
Desentralisasi adalah masalah kunci lain, membutuhkan koherensi dalam perencanaan di segala level. Kemitraan Indonesia-Norwegia akan menambah momentum tambahan untuk proses penyejajaran. ??Partisipasi komunitas lokal dalam pengelolaan pembanguan rendah karbon dan instansi baru REDD-Plus dilindungi dalam kerangka kerja kooperatif. Penguatan dan pelibatan masyarakat lokal adalah jantung dari pembangunan ekonomi dan kami mengetahui peran yang dapat dimainkan oleh masyarakat lokal dalam mencegah penggundulan hutan dan melayani lingkungan. ?
mongabay.com: Minggu lalu Obama membatalkan kunjungan di bulan Juni ke Indonesia. Di luar kemunduran ini, peran apakah yang dapat dimainkan AS dalam membantu Indonesia melindungi hutannya?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Ada beberapa cara yang bisa dilakukan AS untuk membantu Indonesia untuk menindaklanjuti prakarsa iklim dan hutannya, seperti: menciptakan fasilitas regional pada perubahan iklim yang dapat menyediakan dukungan keilmuan, teknis, dan sistem manajemen untuk berbagai mitigasi iklim dan usaha adaptasi. Perbincangan yang masih berlangsung antara AS dan Indonesia dalam pendirian Pusat Perubahan Iklim Regional akan menjadi dukungan konkrit dalam memperkuat rencana Indonesia untuk mengimplementasikan REDD+ dan menghasilkan pengurangan emisi 26% dari emisi yang diproyeksikan di 2020.
AS juga dapat menyediakan data dan dukungan teknis melalui instansi pemetaan dan sensor pedalaman mereka, seperti NASA dan USGS, kepada – yang baru akan didirikan – Instansi MRV independen. Kelengkapan data ini dapat meningkatkan akurasi dan kredibilitas Instansi MRV Indonesia, yang sebagai hasilnya akan meningkatkan implementasi REDD+ dan aksi mitigasi lainnya.
Penyebaran informasi dari Instansi REDD+ (juga akan didirikan) dan masukan balik dari Instansi MRV ke masyarakat dan pemerintah lokal dengan hutan dan lahan gambut merupakan kemungkinan dukungan lain dari AS. Melalui aksi di lapangan yang nyata dan efektif, kami dapat mencegah penggundulan hutan, degradasi hutan, kebakaran, penebangan ilegal, dan pengubahan fungsi.
mongabay.com: Apakah konsumen di Eropa dan AS memiliki peran untuk dimainkan dalam memastikan bahan mentahnya diambil secara berkesinambungan di negara seperti Indonesia?
Agus Purnomo dan Yani Saloh: Banyak penggundulan hutan dan degradasi hutan disebabkan oleh pasar, dan konsumen di Eropa dan AS merupakan bagian dari masalah. Terutama konsumen Eropa dan AS mendorong penggundulan hutan dengan keenganan mereka untuk membayar sedikit tambahan harga untuk produk yang bersumber dari hutan yang berkesinambungan. Produk kayu yang tersertifikasi memiliki insentif yang minim untuk meningkatkan pengelolaan hutan yang berkesinambungan karena tidak adanya harga premium.
Boikot dari seluruh produk hutan Indonesia lebih lanjut akan meningkatkan tekanan pada hutan yang masih tersisa karena penebang dan masyarakat lokal di hutan akan harus menebang lebih banyak pohon, dan ini meningkatkan penggundulan hutan, untuk memasok pasar Asia Timur yang murah sebagai penggantinya.