Pembangkit listrik batu bara yang diajukan di Borneo Malaysia bisa merusak batu-batu karang yang terkenal di dunia, mengotori udara dan pasokan air, membuka hutan hujan dengan keanekaragaman hayati Sabah ke pertambangan, dan mengecilkan usaha negara untuk mempromosikan daerah itu sebagai tempat tujuan untuk investasi “ramah lingkungan” dan eko-turisme, para pemerhati lingkungan memperingatkan yang mengarah pada usaha untuk memblokade proyek tersebut.
Skema tersebut, yang didukung oleh Tenaga Nasional Berhad dan perusahaan energi negara, Sabah Electricity Sdn. Bhd, menghadapi oposisi yang kuat dan telah dipaksa dua kali untuk merelokasi sejak awal lebih dari dua tahun yang lalu. Pembangkit 300-MW saat ini direncanakan di wilayah pinggir pantai yang terletak di tengah-tengah Segitiga Karang/Wilayah Eko Laut Sulu Sulawesi, suatu wilayah yang dikenal berkat tingkat keanekaragaman hayatinya yang luar biasa.
Pembangkit tenaga batu bara ini awalnya akan dipasok oleh batu bara yang ditambang di tetangganya, Kalimantan, namun LSM takut setelah depositnya habis, penambangan dapat beralih pada deposit yang kaya batu bara yang terletak di dekat cadangan hutan, menempatkan wilayah-wilayah dengan keaneka ragaman tinggi beresiko. Pembangkit listrik ini dapat menggerakkan penggundulan yang lebih jauh lagi dengan pembangunan jalur transmisi yang akan memotong lewat dekat Cagar Alam Liar Tabin, memecah-mecah hutan yang merupakan rumah bagi sisa populasi badak Sumatra yang sangat terancam punah di Sabah.
Pemerhati lingkungan juga khawatir proyek ini akan menyebabkan pencemaran udara dan berbagai dampak lainnya, menodai industri eko-turisme Sabah yang baru muncul. Emisi sulfur dioksida dari pembakaran batu bara dapat memicu hujan asam yang akan merusak hutan-hutan di sekitarnya dan aktivitas pertanian uang bertujuan untuk keamanan pangan, sambil mendatangkan kerusakan di ekosistem laut daerah tersebut. Pembangkit akan membuang klorin dan sulfat ke laut, meningkatkan kemungkinan eutrofikasi dan berkembangnya ganggang. Pencemaran panas juga adalah masalah yang potensial, menempatkan batu karang dan kehidupan lain dalam resiko, sementara arus akan membawa banyak limbah ke lebih jauh, menyebabkan dampak merugikan bagi cagar alam laut – termasuk Taman Laut Tun Sakaran dan Pulau Sipadan – dan perikanan, satu lagi sumber penting pendapatan yang vital.
Pembangkit batu bara hampir pasti membawa Sabah jauh dari obyektifnya untuk menjadi pemimpin dalam teknologi ramah lingkungannya, bahkan memperkuat persepsi bahwa daerah tersebut merupakan daerah sumber ekstaksi, tenaga yang kotor, dan produksi komoditas rendah nilai. Memuntahkan CO2 dan zat-zat partikulat sambil secara potensial menyebabkan rusaknya hutan tropis yang kaya, wadah karbon utamanya, tidak akan menolong Malaysia – yang telah di bawah tekanan akibat memiliki pertumbuhan emisi terbesar sejak 1990 di antara negara-negara dengan pendapatan menengah dan atas – mengilapkan kredensial lingkungan hidupnya di panggung internasional. Sebagai contoh, meski Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun Razak menjanjikan pemotongan sebesar 40 persen intensitas karbon dioksida pada tahun 2020 di pembicaraan iklim di Kopenhagen, sebuah pembangkit batu bara baru akan langsung berjalan melawan tujuan ini.
Lebih jauh lagi, pembangkit ini bahkan bukan yang termaju ketika terkait dengan pembakaran batu bara. Pembangkit tidak akan menangkap emisi karbon dioksida, ataupun sebuah rancangan pembangkit efektivitas tinggi atau “superkritis”, yang bisa mengurangi emisi, menurut ahli energi yang familiar dengan rancangannya. Pembangkit ini akan hanya memiliki pengendali dasar NOx, SOx, dan limbah air, mengeluarkan polusi ke langit dan laut. Emisi akan memperparah kabut, masalah kronis yang biasanya menghasilkan keluhan dari daerah semenanjung Malaysia, Singapura, dan negara tetangga.
Acuan awal dari pembangkit ini sangat tidak memadai. Tidak disebutkan dampak lingkungan atas emisi CO2 dan memarahnya pemanasan global, ancaman pencemaaran dari tongkang yang akan membawa batu bara atau sistem desalinasi yang akan mengambil 132 meter kubik air setiap hari untuk 25 tahun, memompa air super-salin yang panas kembali ke laut. Ini juga mengabaikan detil dari jalur transmisi yang akan dibutuhkan untuk mengalirkan listrik ke wilayah lain (pembangkit listrik ini terletak jauh dari pusat), dan gagal untuk menyebutkan kerugian potensial di bidang pekerjaan dan turisme atau bahkan dampak naiknya harga batu bara pada total biaya proyek tersebut. Segitiga Karang / Wilayah-Eko Laut Sulu Sulawesi dan Cagar Alam Tabin bahkan tidak disebutkan sebagai ‘Wilayah Sensitif’.
Lalu kenapa proyek batu bara ini terus maju? Perusahaan pembangkit Malaysia memberitahu Sabahan melalui iklan satu halaman penuh bahwa pembangkit tersebut dibutuhkan untuk menghasilkan tenaga. Jika tidak, mereka memperingatkan, pantai timur Sabah akan terus mengalami mati listrik. Namun lawannya, dipimpin oleh pemrakarsa akar rumput yang dikenal sebagai Green SURF (Sabah Unite to Re-Power the Future) dibentuk oleh LSM lokal, mengatakan performa butuk dari sektor tenaga Sabah adalah hasil dari buruknya perawatan mesin-mesin yang telah ada dan kurangnya penggunaan pilihan lain seperti tenaga air ke dalam praktek seperti yang telah direncanakan, tapi kemudian macet. Kelompok ini bertahan bahwa Sabah memiliki pilihan yang tidak terlalu merusak lingkungan untuk menghasilkan listrik, termasuk skala kecil hidro-elektrik, matahari, angin, dan limbah biomass. Untuk mendukung pandangan ini, Green SURF sedang menyelidiki dan mempromosikan sumber energi alternatif dan yang lebih berkesinambungan, sejalan dengan Kebijakan Tenaga Ramah Lingkungan Nasional milik pemerintah, yang berutujuan untuk mempelopori pengembangan teknologi ramah lingkungan untuk melestarikan lingkungan dengan meningkatkan sumber energi yang bisa diperbaharui dan mempromosikan penggunaan energi efisien.
Terserah pada Sabahan untuk memutuskan apakah masa depan mereka akan kembali pada teknologi lama, atau maju dengan pilihan yang lebih maju dan lebih ramah lingkungan.