Site icon Conservation news

Malaysia perkenalkan hukum baru yang keras mengenai margasatwa

Di akhir tahun ini, Malaysia akan mulai memberlakukan Undang-undang Pelestarian Margasatwa 2010 yang baru, termasuk denda yang lebih ketat untuk perburuan dan kejahatan lain yang terkait dnegan margasatwa, seperti hukuman berat untuk kekejaman pada margawatwa dan kebun binatang yang beroperasi tanpa izin.



Dr. William Schaedla, direktur kelompok pemantau perdagangan margasatwa TRAFFIC Southeast Asia, mengatakan pada mongabay.com bahwa “hukum yang baru ini mewakili perombakan penting pertama dari hukum margasatwa nasional dalam 30 tahun.” Undang-undang ini akan menggantikan Undang-undang Perlindungan Margasatwa tahun 1972.



Untuk memerangi masalah pemburuan liar dengan lebih baik di negara-negara Asia Tenggara, denda akan ditingkatkan: membunuh badak Sumatera, harimau Malay, macan tutul abu-abu, atau margasatwa yang dilindungi lainnya akan dikenai denda maksimum hingga RM 100.000 (USD 31.000) dan lima tahun di penjara atau keduanya jika yang dibunuh betina atau masih anak-anak. Denda maksimum jatuh hingga RM 50.000 (USD 15.500) untuk hewan jantan. Sebagai tambahan, untuk pertama kalinya, memasang perangkap, berburu, atau menahan spesies-spesies tertentu – seperti badak dan harimau – akan dijebloskan ke penjara.



Badak Borneo, subspesies dari badak Sumatera, dalam penangkaran di Borneo. Peneliti percaya bahwa hanya tinggal 250 badak Sumatera yang tersisa. Foto oleh: Jeremy Hance.

“Ada beberapa wilayah dalah hukum tersebut yang bisa lebih terorganisir dan lebih ketat, namun dengan keberadaannya, undang-undang ini adalah peningkatan yang sangat banyak dari hukum yang sudah ada,” ujar Schaedla. “Ini karena undang-undang tersebut menunjukkan pengakuan yang lebih banyak pada ancaman-ancaman yang dihadapi margasatwa saat ini dan mengatasi masalah yang telah mewabahi di lembaga-lembaga pelaksana yang berusaha melindungi margasatwa.”



Sebagai contoh, undang-undang ini juga memperluas perlindungan bagi lebih banyak spesies, termasuk gajah Asia. Sebelum undang-undang baru ini, gajah dianggap dalam hukum Malaysia sebaga ‘hewan permainan’.



Menurut IUCN Red List, badak Sumatera sangat terancam punah, sementara harimau Malay dan gajah Asia terdaftar sebagai terancam punah. Ketiga spesies ini merupakan yang paling terancam atas pemburuan liar, meski hilangnya habitat juga telah memainkan peran yang cukup besar pada penurunan dalam sejarah dan yang sedang terjadi. Kedua spesies macan tutul abu-abu, yang hanya baru-baru ini dipecah menjadi dua oleh taksonomis, termasuk rentan. Meski lebih sedikit menjadi target pemburuan daripada spesies lain, macan tutul abu-abu tetap dibunuh untuk bulunya.



Schaedla mengatakan keberhasilan undang-undang baru tersebut dalam melindungi spesies-spesies ini akan bergantung pada implementasinya. Banyak negara yang memiliki denda yang ketat untuk pemburuan liar dan hukum margasatwa yang kuat, namun gagal menangkap para pemburu liar atau menghukum mereka lebih dari sekedar pukulan di pergelangan tangan.



“Seberapa baik denda itu bekerja akan tergantung secara keseluruhan pada sebaik apa lembaga-lembaga pelaksana tersebut membawa pemburu liar dan pelaku kejahatan lainnya untuk diadili,” jelas Schaedla. “Sistem hukumnya harus memberikan pelaku kejahatan margasatwa sebagai pelaku kriminal. Pelaku harus bertanggungjawab dan dituntut sejauh mungkin hukum berlaku. Untuk melindungi spesies terancam punah, perlu ditunjukkan bahwa pemburuan tidak menghasilkan apa-apa.”



Schaedla juga mengatakan bahwa banyak kebutuhan yang masih harus dikerjakan untuk menembus jejaring pemburuan liar: “[Malaysia] seharusnya berinvestasi lebih banyak dalam investigasi dengan intelijen untuk pelaksanaan yang lebih efektif. […] Lebih banyak pemeriksaan di titik-titik panas yang telah diketahui di negara, di wilayah yang terkenal digunakan sebagai titik keluar-masuk untuk penyelundupan margasatwa, dibutuhkan. Untuk melakukannya, seluruh lembaga-lembaga pelaksana – polisi, bea cukai, tentara – harus bekerja sama.”



Bahwa dibutuhkan lebih dari 30 tahun untuk sebuah undang-undang margasatwa yang baru, Schaedla menambahkan bahwa pemerintah seharusnya lebih sering memeriksa hukum perdagangan margasatwanya untuk mengatasi situasi baru seiring kemunculannya.



TRAFFIC merupakan organisasi pelestarian yang mengabdi untuk memantau perdagangan margasatwa di dunia, mendorong kebersinambungan, dan mengakhiri perdagangan ilegal untuk spesies atau bagian dari spesies.



Exit mobile version