Sebagai pemilik salah satu tingkat tertinggi penggundulan hutan di dunia, emisi ketiga terbesar di dunia sebagian besar karena hilangnya hutan, dan kekayaan keragaman hayati yang berjuang untuk bertahan hidup di tengah-tengah hilangnya habitat skala besar, Indonesia hari ini mengumumkan perjanjian yang mungkin saja menjadi awal dari penghentian hilangnya hutan di negata Asia Tenggara. Indonesia mengumumkan di Olso, Norwegia, penundaan 2 tahun dalam memberikan konsensi baru pada hutan hujan dan hutan gambut dimulai bulan Januari 2011, bagaimanapun konsesi yang telah diberikan pada perusahaan tidak akan dihentikan. Pengumuman ini muncul seiring dengan diterimanya USD 1 milyar dari Norwegia untuk membantu negara tersebut menghentikan penggundulan hutannya.
“Indonesia telah siap untuk menunda konsesi baru hingga dua tahun untuk pengubahan lahan hutan alam dan gambut,” ujar sebuah pernyataan dari Indonesia seperti yang dilaporkan oleh Reuters. “Lahan non-hutan yang mencukupi tersedia di Indonesia untuk mengakomodasi pertumbuhan industri perkebunnya yang penting dan vital, sebuah sumber utama pendapatan di Indonesia.” Ekspansi perkebunan, termasuk minyak kelapa dan kertas, akan berfokus pada lahan yang telah terdegradasi.
|
Greenpeace, yang telah lama melawan penggundulan hutan di Indonesia, menganalisa pengumuman ini dalam sebuah blog: “Ini berita bagus, terutama jika dibuat sebagai dekrit presiden saat Yudhoyono [Presiden Indonesia] kembali ke Jakarta, dan penundaan adalah prekondisi yang diletakkan oleh Norwegia dalam pembagian kesepakatan pembiayaan USD 1 milyar mereka yang mana secara spesifik ditujukan pada Indonesia. Namun ini tdak untuk jutaan hektar yang telah dalam genggaman perusahaan penambangan […]Tanpa memasukkan konsesi yang ada, penggundulan hutan akan berlanjut dengan cepat.”
Bahkan, Indonesia telah membenarkan bahwa 1,6 juta hektar (4 juta acre) kompleks pertanian telah direncanakan untuk propinsi Papua di bagian paruh barat pulau Nugini akan terus berlanjut.
“Namun itu akan tetap dalam konteks kebijakan ramah lingkungan,” ujar gubernur Papua Barnabas Suebu kepada Reuters. “Lahan yang akan digunakan untuk kompleks pangan ini memiliki nilai karbon dan keberagaman hayati yang sangat rendah.
Sebagai tambahan, karena penundaan tersebut tidak akan berpengaruh hingga Januari – berdasar pada surat penawaran – sebagian menakutkan bahwa konsesi akan terus diberikan pada tingkat ledakan selama enam bulan ke depan, menempatkan makin banyak hutan dan spesies dalam bahaya.
Pengumuman dan donasi USD 1 milyar dari Norwegia dapat dilihat sebagai awal dari program REDD+ (Pengurangan Emisi dari Penggundulan hutan dan degradasi). Bahkan, sebagian uang akan digunakan untuk mempersiapkan sistem pemantauan REDD+ dan memulai proyek REDD+.
Pertemuan di Norwegia memasukkan juga pengumuman USD 4 milyar untuk memulai proyek-proyek REDD+ di seluruh dunia. Dana tersebut dijanjikan tahun lalu di Konferensi Iklim Kopenhagen dan telah dinyatakan oleh Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Inggris, Australia, Norwegia, dan Jepang. Denmark dan Swedia menjanjikan tambahan USD 73 juta.
Indonesia berada di tingkat kedua setelah Brazil dalam kehilangan hutan. Antara tahun 1990 dan 2005, Indonesia kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 hektar hutan perawan. Tutupan hutan negara telah turun dari 82 persen di tahun 1960an menjadi kurang dari 50 persen saat ini.
Pandangan udara kerusakan lahan gambut di Borneo Indonesia. Foto oleh: Rhett A. Butler.