Site icon Conservation news

Apakah kita di sedang berada di tepian penyelamatan hutan hujan?

Hingga saat ini, menyelamatkan hutan hujan seperti sebuah misi yang mustahil. Namun saat ini dunia telah mulai menerima ide bahwa solusi yang ditawarkan untuk membantu menghadapi perubahan iklim dapat memberikan tawaran cara baru dengan memunculkan nilai hutan tanpa menebanginya.



CATATAN: Lihat Bigg REDDuntuk membaca konsep dengan lebih ringkas.


Jauh di dalam Amazon Brazil, anggota suku Surui sedang mengembangkan skema yang akan memberikan mereka manfaat dengan melindungi rumah hutan mereka dari gangguan para peternak dan penebang ilegal.



Proyek ini, yang dimulai oleh Surui sendiri, akan memunculkan pekerjaan seperti penjaga taman dan memasukkan klinik kesehatan, komputer, serta sekolah-sekolah yang akan membantu pemuda-pemudi mereka untuk tetap mendapatkan pengetahuan tradisional dan ikatan kultural dengan hutan mereka. Yang mengherankan, Negara Bagian California, Wisconsin, dan Illinois akan membiayai usaha keras ini sebagai bagian dari program mitigasi perubahan iklim mereka.



Penggundulan hutan di Laos selatan (Januari 2009). Foto oleh Rhett A. Butler

Meski terdengar sulit, kolaborasi ini bisa menjadi kenyataan dengan berada di bawah jangkauan luas inisiatif untuk mengurangi emisi dari penggundulan dan degradasi hutan (REDD), sebuah mekanisme mitigasi perubahan iklim yang sedang dipertimbangkan oleh para pembuat undang-undang Amerika Serikat dan dalam diskusi internasional untuk sebuah “kerangka kerja” pada perubahan iklim. Pendukung mengatakan bahwa REDD dapat mengirimkan milyaran dolar per tahun ke negara-negara berkembang untuk melestarikan hutan hujan mereka, sambil melestarikan keanekaragaman hayati; melindungi pelayanan ekosistem seperti pengaturan curah hujan, fungsi batas air, dan pengendalian erosi; mendukung perkembangan desa di sebagian daerah termiskin di dunia, dan dalam beberapa kasus, daerah yang paling tidak teratur; dan memutus kebuntuan yang telah memacetkan negosiasi iklim internasional selama lebih dari satu dekade ini, sejak Protokol Kyoto di tahun 1997.



Alasan sangat jelas: hutan tropis menyimpan secara kasar 25 persen dari karbon bumi, lebih dari 300 milyar ton. Saat hutan ditebangi – vegetasi mereka dibakar dan kayu-kayu diubah menjadi produk kayu – banyak dari karbon ini yang dilepaskan ke atmosfer sebagai karbon dioksida. Penghabisan hutan tropis seluas 50.000 mil per segi setiap tahunnya terhitung sebagai 20 persen dari emisi dunia dari aktivitas manusia – porsi yang lebih besar dari seluruh pesawat, kapal, mobil, dan truk di dunia digabungkan. Dengan kata lain, meski perhatian untuk efisiensi bahan bakar mobil dan jumlah penerbangan yang dilakukan selebriti, mengistirahatkan seluruh jet dan mobil di dunia tetap tidak akan mengimbangi emisi tahunan oleh penggundulan hutan dunia.



Tingkat penggundulan hutan tropis sejak 2000-2005, diurutkan dengan urutan yang menurun dari jumlah tertinggi habisnya hutan rata-rata per tahun dari 25 negara, berdasarkan pada data dari Food and Agriculture Organization (FAO) PBB. Klik untuk memperbesar.

Namun, mengurangi penggundulan bukanlah usaha yang mudah. Hutan dihancurkan sebagai konsekuensi dari kekuatan ekonomi dunia – permintaan kayu, bubur kayu, daging sapi, kedelai, dan minyak kelapa – seperti juga pertanian yang memang untuk menyokong kehidupan. Memperlambat atau menghilangkan penggundulan hutan berarti menghadapi para penggerak utama ini dengan menjadikan hutan juga bernilai sebagai entitas kehidupan, daripada hanya berguna untuk produksi setelah mereka ditebang. Dan isu ini juga berkembang jauh melampaui wilayah ekonomi. Pemerintahan yang baik, termasuk penegak hukum, pengakuan akan hak lahan, dan distribusi keuntungan yang adil, adalah isu yang akan membuat berhasil atau menghancurkan REDD.



Memikirkan REDD



Ide untuk mencegah perubahan iklim dengan menyelamatkan hutan bukanlah hal baru, namun ide ini bergerak dengan lambat. Protokol Kyoto berjalan ke arah yang berbeda, dan para kritikus REDD mengkhawatirkan ide ini akan terlalu rumit untuk dikelola di skema ekonomi dunia untuk penyelamatan iklim. (Beberapa kritikus juga berpikir bahwa kebanyakan dari rencana tersebut tidak cukup untuk menghadapi konsumsi berlebihan dari negara-negara berkembang.)



Pengeringan dan pembabatan hutan gambut di Kalimantan Tengah (Mei 2009). Foto oleh Rhett A. Butler.

Seperti skema lainnya, REDD mengalami kesulitan untuk menjelaskan dirinya dalam istilah-istilah yang dapat dimengerti oleh non-spesialis. Pasar karbon, offset, cap-and-trade – kesemuanya telah menjadi bahasa yang digunakan selama ini, tapi topik tersebut tidak dimengerti oleh sebagian orang. Sindrom “melihat-sekilas” mungkin termasuk akut terutama di Amerika Serikat, di mana pemerintahnya menolak untuk bergabung dalam Protokol Kyoto. Namun, tetap saja ada masyarakat Surui – dan jika suku Amazon bisa mendapatkan bantuan untuk menyelamatkan rumah hutannya dengan bekerjasama dengan Amerika Serikat, mungkin sebagian sisanya juga dapat mulai mengerti tentang ide ini.



Lebih lagi, keseluruhan subyek dari perubahan iklim dan mitigasinya telah mendapat dorongan baru dengan dukungan administrasi Obama mengenai cap-and-trade – konsep yang melegalkan pembatasan emisi gas rumah kaca dan mendorong perdagangan “kredit” yang diperoleh industri yang sesuai atau melebihi standar. (Meski begitu, debat mengenai cap-and-trade yang berkaitan dengan hal-hal yang kadang kala secara sederhana tampak sebagai offset “pay-to-pollute”, ters berlanjut.)



Kelahiran – dan kematian – karbon hutan



Melindungi hutan sebagai strategi mitigasi iklim mempunyai sejarahnya di Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan kuat Amerika – termasuk American Electric Power (AEP), PacificCorp, BP Amoco, dan yang lainnya – menghabiskan jutaan dolar di tahun 1990an untuk melindungi hutan yang terancam di Belize, Bolivia, dan Brazil, dengan harapan akan mendapat kredit aksi-awal untuk mengimbangi emisi gas rumah kaca mereka dengan mencegah penggundulan hutan.



Hutan hujan di Borneo(April 2008). Foto oleh Rhett A. Butler

Proyek Noel Kempff Mercado Climate Action Project, dikenal merujuk pada inisiatif Bolivia, kemudian menjadi model “penggundulan hutan yang terhindarkan”. Perancang proyek secara hati-hati menghitung tingkat penggundulan hutan dasar menggunakan skenario bisnis-seperti-biasa; menyiapkan sistem pemantauan dan verifikasi; digunakan untuk kebocoran penggundulan hutan yang mungkin berpindah ke wilayah lain akibat status taman yang dilindungi; dan menyiapkan sistem insentif untuk orang-orang di wilayang yang dilindungi dan sekitarnya.



Tia Nelson, anak perempuan dari almarhum Gaylord Nelson, gubernur dan senator yang menciptakan Hari Bumi, saat ini menjadi wakil kepala dari Satuan Tugas Gubernur yang menangani Pemanasan Global dan sekretaris eksekutif dari Dewan Komisaris Lahan Publik Winconsin. Dia merupakan partisipan kunci di pengembangan awal mekanisme perlindungan hutan sebagai wakil direktur Program Perubahan Iklim di Nature Conservancy (TNC), sebuah kelompok pelestarian yang berbasis di Washington D.C., yang menyediakan dukungan keilmuan dan teknis untuk proyek-proyek.



“Saya benar-benar kagum dengan ide di mana perusahaan akan membayar untuk melestarikan hutan sebagai strategi mitigasi,” ungkapnya. “Noel Kempff secara khusus telah terencana dengan baik.”



Namun manfaat Noel Kempff dan proyek pelestarian hutan lainnya terbatasi oleh tidak masuknya pelestarian hutan ke dalam persetujuan iklim yang dicapai di Kyoto 1997. Bagi banyak kelompok lingkungan hidup, karbon hutan sebaik-baiknya hanya menjadi pengalih perhatian dari isu-isu kunci di Kyoto, dan seburuk-buruknya sebagai cara tersembunyi bagi industri yang berpolusi untuk terus mengeluarkan gas rumah kaca dengan membayar negara-negara miskin untuk mengurangi emisi mereka sendiri. Ketika Amerika Serikat mendorong untuk dicantumkannya wadah karbon seperti hutan dalam Protokol, lawan-lawannya melihat itu sebagai usaha dari pembuat polusi terbesar di dunia untuk menghindari pemotongan emisi.



Stuart Eizenstat, seorang pengacara terkenal di Covington & Burling, mantan duta besar Amerika Serikat, dan pemimpin pemimpin negosiator Amerika Serikat dalam perundingan Kyoto, mengatakan meski justifikasi untuk melestarikan hutan tampak kuat, urusan yang belih besar ada di Kyoto, termasuk perdagangan emisi dan kontribusi negara-negara berkembang pada mitigasi.



Penggundulan hutan – termasuk erosi di Madagaskar (Oktober 2004)

“Kamu mendorong masalah wadah itu karena kami mencari-cari segala jalan yang memungkinkan untuk melibatkan negara-negara berkembang dan mengurangi biaya. Kami tahu bahwa biaya akan menjadi isu yang paling penting, seperti saat ini,” ujar Eizenstat.



Pada akhirnya, ketidaksukaan pada offset ini berujung pada tidak masuknya pelestarian hutan di Kyoto. Hutan dimasukkan dalam Mekanisme Pembangunan yang Bersih (Clean Development Mechanism / CDM) – usaha Kyoto untuk melibatkan negara-negara berkembang dalam solusi iklim. CDM memperbolehkan proyek penghutanan (afforestation – ditanaminya lahan baru) dan penghutanan-kembali, tapi tidak untuk “penggundulan hutan yang terhindarkan”, meskipun ketentuan ini hanya ada sebentar. Penghutanan dan penghutanan-kembali diturunkan menjadi kredit sementara di Marrakesh Accords di 2001 dan secara keseluruhan dikeluarkan dari Emissions Trading System (ETS), pasar pemenuhan untuk karbon Uni Eropa. Kesemua ini membatasi nilai dari kredit hutan.



Nelson mengatakan bahwa keputusan untuk tidak memasukkan pelestarian hutan di Kyoto merupakan sebuah kekecewaan, tapi bukan sebuah kejutan. Banyak penggiat lingkungan hidup berpendapat bahwa penyeimbangan bukanlah solusi untuk mengurangi emisi industri, sebuah sentimen yang masih tetap kuat hingga saat ini.



“Saat itu terasa seperti berperang sendirian,” kata Nelson. “Saya berharap kami memiliki kasus yang bagus, tapi rupanya hanya ada beberap suara yang berpendapat mengenai penggundulan hutan yang terhindarkan.”



Keputusan yang mengecualikan hutan dari Kyoto termasuk kontroversi, menghasilkan suara-suara keras dan pahit antara kelompok lingkungan hidup. Ini juga menunjukan kerugian tersebut pada hutan tropis dan penguni-penghuninya.



Perkebunan kelapa sawit dan hutan yang telah ditebangi di Borneo Malaysia (April 2008). Sementara banyak dari lahan hutan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah ditebangi atau sedang dizonakan untuk ditebangi, perluasan dengan mengorbankan hutan alam dan hutan yang dilindungi terdapat di negara tersebut. Batas cagar alam kadang kala dirusak untuk memfasilitasi penebangan dan pengubahan menjadi perkebunan. Foto oleh Rhett Butler.

Tahun-tahun setelah Kyoto, gelombang penggundulan hutan terjadi, terutama di dua negara dengan tutupan hutan terluas: Brazil dan Indonesia. Di Brazil, penggundulan hutan meningkat hampir dari tahun ke tahun antara 1997 dan 2004, dengan puncaknya 10.600 mil persegi di tahun 2004, sebuah wilayah seukuran Massachusetts. Di Indonesia bahkan lebih parah. Jatuhnya rezim Suharto di tahun 1997 menggiring negara tersebut ke periode kerusuhan, menghasilkan perusakan hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penebang dan pengembang perkebunan kelapa sawit membabat dan membakar area yang luas, difasilitasi oleh salah satu bencana el Niño terkuat yang pernah tercatat. Saat asap hilang, lebih dari 25.000 mil persegi telah terbakar hanya di Borneo Indonesia, melepaskan sekitar 2 milyar ton karbon. Bisa dikatakan, sejak pengecualian dari Kyoto, kedua negara ini telah kehilangan lebih dari 160.000 mil persegi hutan, sebuah wilayah seluas California, melepaskan milyaran ton karbon ke atmosfer dan menempatkan kedua negara ini sebagai pembuat emisi terbesar di dunia – sebuah posisi yang jauh melampaui output industri mereka.



Akan tetapi penggundulan hutan tidak hanya terbatas di Brazil dan Indonesia. Tanpa insentif untuk menjaga keutuhan hutan, penggundulan hutan terjadi dengan cepat di seluruh dunia, terutama di hutan-hutan primer, jenis hutan yang memiliki keragaman biologis terkaya dan kepadatan karbon terbanyak, serta yang paling tak bisa tergantikan. Hutan hujan yang berusia berabad-abad ditebangi untuk peternakan, perkebunan kelapa sawit, pertanian kedelai termekanisasi, dan industri bubur kayu. Penggiat lingkungan hidup yang terus saja membunyikan alarm, mungkin tidak sadar akan peran mereka dalam menyebabkan pembantaian hutan besar-besaran ini. Sementara pendukung akan hutan gundul yang terhindarkan mengelompok kembali, memperluas jangkauan mereka, dan mengeksplorasi cara-cara baru untuk memasukkan hutan ke dalam persetujuan iklim global. Agar dapat dilaksanakan, sebuah proposal harus dapat mengatasi rintangan serius mengenai teknis, politis, dan ideologis.



Kelahiran kembali inisiatif hutan



Sebuah terobosan justru muncul dari sumber yang tak terduga: makalah akademis. Sebuah tim peneliti dari Amerika dan Brazil menganalisa isu-isu yang membuat hutan terpinggirkan dari Protokol Kyoto dan muncul dengan solusi yang bisa menghadapi kekhawatiran yang paling menekan, “kebocoran” – ide yang tidak dapat dijamin oleh proyek berdasar skema seperti CDM bahwa mematikan penggundulan hutan di sebuah area tidak akan dengan mudahnya berpindah ke lainnya. Penulisnya, termasuk Márcio Santilli, Paulo Moutinho, Stephan Schwartzman, Daniel Nepstad, dan Carlos Nobre, menawarkan proposal yang berisi sistem akuntansi nasional, di mana negara-negara harus berkomitmen hingga tingkat-nasional, daripada sebatas tingkat-proyek, dalam mengurangi penggundulan hutan. Konsep ini menawarkan mekanisme yang bisa tampak mirip sekali dengan perdagangan di antara dua sistem terunggul, dibanding hanya menyeimbangkan emisi.



Lahan ternak dan hutan transisi di Mato Grosso, Brazil (April 2009). Sejak tahun 2003, Brazil telah menyisihkan lahan seluas 523.592 kilometer persegi untuk dilindungi, terhitung sebagai 74 persen dari wilayah lahan total yang dilindungi di dunia pada masa tersebut. Foto oleh Rhett Butler.

“Diterbitkannya “Penggundulan hutan tropis dan Protokol Kyoto” sangat penting bagi pembangunan karena ini menciptakan ruang keilmuan – dan ruang kebijakan – di mana Anda dapat benar-benar berbicara tentang pengurangan emisi dari penggundulan hutan dan menempatkan pertanyaan tentang kebocoran di sisi yang lain. Ini tidak secara keseluruhan menjawab pertanyaan tentang kebocoran namun cukup melunakkannya.” Annie Petsonk, ahli kebijakan di Environmental Defense Fund (EDF) berkata.



Pembangunan pararel yang penting adalah munculnya blok negosiasi – kemudian dikenal sebagai Koalisi bagi Negara Hutan Hujan – yang memungkinkan para negara berkembang untuk dapat berpartisipasi secara berarti dalam mengurangi emisi dan dapat membantu komplain halus bahwa Kyoto tidak berbuat cukup untuk melibatkan seluruh negara.



Koalisi Negara Hutan Hujan



Koalisi Negara Hutan Hujan ini muncul akibat konflik antara Bank Dunia dan Papua Nugini (PNG), sebuah negara yang dikenal dengan keberagaman kulturnya (lebih dari 800 bahasa digunakan di seluruh wilayah bergunung-gunung itu) dibanding ketajaman poliiknya. Namun perselisihan atas pembayaran USD 50 juta bisa saja nantinya menjadi pembayaran sebesar milyaran dollar untuk melindungi hutan hujan dunia. PNG dapat menjadi salah satu yang menerima manfaat terbesar.



Di tahun 2001, Bank Dunia datang ke PNG dengan tawara pinjaman: sekitar USD 50 juta selama 10 tahun agar negara tersebut menghentikan penebangan dan mengubahnya dengan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Namun PNG menolaknya, dengan alasan bahwa tawaran itu terlalu rendah untuk mencukupi kebutuhan komunitas hutan yang telah menandatangani kontrak penebangan. Penolakan pinjaman itu memicu kebuntuan antara PNG dan bank, membawanya ke tuduhan yang merusak dan perlawanan yang buruk.



“Komunitas ini ingin menyelamatkan hutannya, yang merupakan dasar dari masyarakat dan kebudayaan di Nugini,” ujar Kevin Conrad, seorang Amerika yang lahir di Papua Nugini dan kini menjadi negosiator iklim utama untuk G-77 dan Cina. “Namun pada saat yang bersamaan, komunitas ini juga membutuhkan sekolah, kesehatan, dan akses pada pasar untuk berkembang.”


Conrad menamatkan S2-nya di Universitas Kolumbia dengan maksud untuk mengeksplorasi cara-cara bagi PNG agar dapat mengumpulkan uang dari hutannya tanpa merusaknya. Di New York, dia bertemu dengan Bank Dunia dan kaget ketika mengetahui bahwa Bank Dunia adalah pedagang karbon terbesar di dunia. Dia bertanya pada bank tersebut bagaimana departemennya bisa meminta Nugini untuk menghentikan penebangan, semetara yang lain memperdagangkan karbon.



“Saya bertanya pada Bank Dunia, ‘Kenapa kalian tidak menyatukan usaha tersebut dan memberi kami sesuatu yang bisa dikerjakan?'”



Bank Dunia mengatakan pada Conrad bahwa ide tersebut tidak akan bisa maju karena Protokol Kyoto tidak memperbolehkan proyek perlindungan hutan.



“Lalu saya bertanya, ‘bagaimana bila kita ubah Protokol Kyoto?'”



Bank Dunia mengatakan padanya bahwa jika dia mengubah Protokol Kyoto maka semua kemungkinan bisa terbuka.



“Jadi, itulah dasar masukan kami untuk tahun 2005.”

Di tahun 2005 Papua Nugini menggabungkan kekuatan dengan negara-negara hutan untuk membentuk Koalisi Negara Hutan Hujan dengan Kevin Conrad sebagai direktur eksekutif. Anggota kunci dari koalisi ini adalah Kosta Rika, negara yang dipuji oleh masyarakat dunia atas transformasinya dari penggundul hutan yang tinggi menjadi model pelestarian.



“Salah satu tugas resmi pertama saya adalah berkunjung ke Kosta Rika untuk mengetahui bagaimana mereka memutar-balikkan tingkat penggundulan hutan mereka,” ujar Conrad. “Mereka mengatakan, ‘Ya, kami melakukannya, tapi kami telah menarik pajak untuk kami sendiri. Tidak ada orang yang telah membantu kami.’ Kita tahu bahwa Kosta Rika mungkin saja bisa melakukan itu, tapi bagi sebagian besar dari kita, itu tidak mungkin. Kita akan membutuhkan sumber dana.”



Koalisi ini maju ke Konferensi partai-Partai PBB (U.N. Conference of the Parties / COP) yang bertemu di Montreal tahun 2005 dan langsung saja mendapat perlawanan dari Amerika Serikat yang tidak melakukan apa-apa untuk iklim. Wakil Amerika Serikat mengatakan pada COnrad bahwa ia akan membunuh penawaran koalisi, karena takut jika negara-negara berkembang benar-benar melakukan rencana untuk berkomitmen dengan kuat untuk mengurangi gas rumah kaca, Amerika Serikat tidak akan lagi mempunyai alasan untuk tidak ikut melakukan sesuatu untuk iklim.



“Amerika Serikat berencana menghentikan kami hanya untuk itu,” kata Conrad.



Conrad membuat strategi untuk memperlambat aksi Amerika Serikat pada perundingan Montreal, membujuk lusinan negara yang mendukung proposal itu untuk menekan tombol pilih mereka sebelum Amerika Serikat.



“Jika Amerika Serikat menekan terlebih dahulu, para penolak akan segera mengikutinya,” ujarnya. “Tapi jika mereka baru muncul setelah barisan panjang yang setuju, saya berharap mereka tidak bisa membunuh penawaran tersebut.”



Tentu saja, Amerika Serikat setuju untuk memberikan waktu dua tahun bagi proposal tersebut, mengirimkannya ke komite dengan ekspektasi itu akan runtuh akibat tantangan teknis untuk pengukuran, pembuktian, dan pemantauan emisi dari penggundulan hutan. Jika proposal tersebut berhasil hingga COP 13 di Bali Desember 2007, wakil dari Amerika Serikat berjanji untuk membunuhnya saat itu.



Namun sejarah berkata lain.



Hutan hujan dataran rendah di Kosta Rika (Maret 2009). Foto oleh Rhett Butler.

Dengan kemajuan sains di tahun 2007, terlihat bahwa tidak hanya verifikasi dan pemantauan karbon hutan memungkinkan, tapi emisi dari penggundulan dan degradasi hutan begitu signifikannya sehingga mereka tak bisa dikesampingkan dan menjaga tingkat karbon dioksida atmosfer di bawah 450 bagian-per-juta, sebuah tingkat yang menurut banyak ilmuwan sebagai titik ujung iklim kritis. Koalisi Hutan Hujan memiliki kasus yang kuat bahwa gerakan untuk hutan oleh negara-negara tropis dapat menjadi kontribusi substansial untuk perang melawan perubahan iklim. Namun koalisi tetap harus menghadapi Amerika Serikat di Bali, di mana wakil Amerika Serikat berusaha menghentikan kemajuan menuju perjanjian pasca-Kyoto. Conrad mengeluarkan tantangan langsung:



“Kami meminta kepemimpinan Anda, tapi jika untuk beberapa alasan Anda tidak ingin memimpin, biarkan kami yang mengerjakannya. Tolong jangan dihalangi.”



Menit-menit berikutnya wakil dari Amerika Serikat menyerah, melancarkan jalan untuk Rencana Aksi Bali, yang mengakui peran penting hutan tropis dalam menentukan iklim.



Bali terbukti menjadi momen pembatas bagi REDD. Selama pertemuan, Norwegia membuka Inisiatif Hutan dan Iklim Internasiona miliknya, sebuah rencana komitmen menyumbangkan 3 milyar krone (USD 500 juta pada saat itu) per tahun untuk pelestarian hutan hujan, sebuah jumlah yang belum tersaingi oleh donor lainnya. Bank Dunia menyetujui dana sebesar USD 300 juta, Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) akan memulai proyek REDD di negara berkembang, dan beberapa negara lain mendukung konsep REDD. Sejak Bali, momentum tak lain hanyalah berkembang. Di tahun 2008, Britania dan Norwegia menaruh USD 200 juta di Congo Basin Forest Fund untuk mendanai aktivitas pelestarian hutan di Afrika Tengah; PBB telah meluncurkan dana REDD miliknya sendiri; dan Pangeran Charles menjadikan penyelamatan hutan hujan menjadi aksi pribadinya, mengembangkan pelestarian. Usahanya menghasilkan pertemuan historis antar kepala negara untuk membicarakan pelestarian hutan hujan sebelum pertemuan G20 di April 2009.



Perkebunan kelapa sawit dan hutan yang telah ditebangi di Borneo (April 2008).




Jalan pertambangan di Suriname (June 2008). Foto oleh Rhett Butler.

Negara-negara berkembang juga telah ikut terlibat. Ekuador menawarkan suatu wilayah hutan hujan yang luas di Amazon timur sebagai hutan raksasa penyeimbang karbon, sementara kelompok yang terdiri dari 26 negara-negara Afrika di Afrika Timur, Tengah, dan Selatan mengumumkan Solusi Iklim Afrika, sebuah rencana untuk mendapatkan pendanaan karbon untuk pelestarian hutan, pengembangan desa, dan pengurangan kemiskinan. Sementara, lusinan negara lain telah mendaftar program REDD PBB dan FCPF telah mulai menerima dana dari aktivitas kesiapan REDD. Namun berita terbesar datang dari Brazil, yang mengumumkan pembentukan dana USD 21 milyar untuk mengurangi penggundulan hutan di Amazon sebanyak 70 persen dalam waktu 10 tahun, mencegah terlepasnya karbon yang diperkirakan hingga 4,8 milyar ton dengan skenario bisnis-seperti-biasa.



Karena memiliki kekosongan kebijakan iklim, Amerika Serikat bergerak dengan lambat dalam konsep hutan gundul yang terhindarkan, namun luasnya peminat, termasuk pelestari, ahli pengembangan, ilmuwan, dan kelompok industri, telah membantu usaha ini untuk mengedepankannya di dalam agenda iklim. Kelompok seperti Forest Carbon Dialog dan Avoided Deforestation Partners, telah melakukan peran penting dalam menerobos pertanyaan-pertanyaan kebijakan yang sulit, merawat kerjasama dan aliansi strategis kadang kala dengan partai yang bermusuhan, membantu merumuskan bahasa legislatifnya, dan menginformasikan ke pembuat kebijakan tentang berbagai manfaat REDD.


“Memiliki dialog antar perusahaan, LSM, dan pemegang kepentingan lainnya mengenai bagaimana mengajukan karbon hutan ke dalam konteks kebijakan Amerika Serikat adalah sangat penting,” ujar Petsonk dari EDF.



Emisi dari bahan bakar fosil di Amerika Serikat dan Cina, 1900-2007.

Usaha ini berhasil, dengan REDD yang diprediksikan ke dalam Rancangan Undang-Undang Senat Lieberman-Warner yang gagal dan American Climate and Energy Security Act (ACES) meloloskannya dengan nyaris ke MPR di bulan Juni. Versi terbaru dari ACES, yang kini sedang berada di Senat, bertujuan untuk meraih pengurangan emisi tambahan paling tidak sekitar 720 juta ton karbon dioksida di tahun 2020 dan jumlah kumulasi paling tidak sekitar 6 milyar ton karbon dioksida di akhir 2025 melalu penggundulan hutan yang terhindar. Penawaran ini sebanding dengan Amerika Serikan melestarikan 34.000 mil persegi hutan hujan di negara-negara berkembang dan akan mendorong target pengurangan emisi Amerika Serikat dari 17 persen di bawah tingkat di tahun 2005 pada tahun 2020, hingga ke 27 persen jika tereksploitasi maksimal.



Undang-undang iklim Amerika Serikat khususnya, penting bagi kemajuan REDD. Tanpanya, wakil untuk Conference of Parties (COP 15) di Kopenhagen, Desember 2009, tidak akan dapat berbuat banyak di negosiasi, ujar Eizenstat.



“Mustahil bagi wakil dari Amerika Serikat untuk mencapai lebih dari target emisi yang akan dibuat di undang-undang,” ujarnya. “Administrasi tak akan maju lebih jauh dari yang diperbolehkan Kongres. Karenanya, Undang-undang Kongres akan menjadi langkah yang sangat penting.”



Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional dari sumber industri (turunan dari listrik, transportasi, bangunan, dsb) dan LULUCF, 2000. Perlu diingat, bahwa beberapa negara yang memiliki catatan emisi negatif dari LULUCF berarti sumber-sumber ini adalah wadah karbon netto. Juga perlu diingat, Uni Eropa juga tercatat dalam daftar sebagai tambahan negara-negara anggotanya secara individual.

Para pendukung mengatakan bahwa di luar manfaat lingkungan REDD, ada beberapa alasan baik bagi Kongres Amerika Serikat untuk memasukkan ketentuan REDD di dalam undang-undang iklim, termasuk mengurangi biaya pemenuhan untuk bisnis di Amerika di bawah sistem tutup-dan-tukar, mengikutsertakan negara-negara berkembang di dalam kerangka kerja iklim, dan memperkuat keamanan di daerah-daerah yang potensial dikhawatirkan melalui pembangunan yang berkesinambungan dan mitigasi perubahan iklim.



“Dampak perubahan iklim dapat mencakup gagal panen dan kekeringan, menciptakan ketidakstabilan dan pergerakan massa potensial ‘eko-migran’,” kata Eizenstat. “Namun ketentuan-ketentuan kuat untuk hutan dapat menawarkan berbagai manfaat tambahan.”



Tracy Johns, ahli kebijakan hutan yang merupakan wakil pimpinan Woods Hole Research Center, REDD Initiative, setuju.



“Dari titik domestik, salah satu hal yang menjadikan REDD sebagai sebuah opsi kebijakan yang sangat menarik adalah mekanismenya untuk mendorong negara-negara berkembang untuk memiliki tujuan-tujuan pengurangan emisi,” jelasnya. “Pada saat yang bersamaan ia juga memberikan tawaran bagi negara-negara berkembang ini sebuah jalan potensial untuk menggunakan hutan dalam cara yang tetap berlanjut untuk pembangunan. Terakhir, REDD menawarkan pembatasan biaya yang sangat menarik dan secara potensial sangat efektif diukur dari bisnis Amerika Serikat di bawah program tutup-dan-tukar. REDD akan memudahkan Amerika Serikat untuk lebih mengurangi emisi dengan biaya yang lebih rendah.”


Penebangan hingga bersih di Amazon Peru (Oktober 2005). Foto oleh Rhett Butler.

Sementara masih mengembangkannya, posisi Amerika Serikat sepertinya menuju ke arah mekanisme finansial untuk REDD yang mencakup baik mekanisme finansial berdasar-pasar dan berdasar-dana untuk REDD, sebuah posisi yang dimiliki oleh Koalisi Negara Hutan Hujan, dan oleh Australia. Bagi REDD, pembiayaan tetap merupakan salah satu isu yang kerap diperdebatkan, dengan Brazil yang menyarankan adanya dana berdasar bantuan dan Eropa yang ragu-ragu untuk mengijinkan karbon hutan masuk ke pasar pemenuhan karena takut itu akan menyebabkan harga karbon jatuh. Penyokong pasar berpendapat bahwa pendekatan berdasar-dana akan dipengaruhi oleh tingkah laku perpolitikan dan tidak akan menghasilkan uang sebanyak yang diperlukan untuk mengurangi penggundulan hutan pada skala dan kecepatan yang dibutuhkan agar bisa mencapai target pengurangan emisi.



Namun sebenarnya isu penting dalam debat pasar adalah kefleksibelan kredit – di mana negara-negara dapat menghitung kredit karbon dibanding emisi mereka. (“Kefleksibelan” berarti aset ekonomi dapat dipertukarkan dalam pemenuhan obligasi.) Beberapa negara Eropa khawatir kredit REDD akan merusak teknologi rendah-karbon tanpa mengurangi emisi secara berarti, sementara Brazil tidak menyukai ide memperbolehkan negara-negara industri terbebas akan emisi mereka. Kelompok-kelompok lingkungan hidup terbagi. Beberapa menyebutkan bahwa bentuk-bentuk semacam penyeimbangan merupakan solusi yang salah untuk perubahan iklim; lainnya mengatakan tutup yang kuat, secara besar-besaran, dapat mengurangi resiko pasar kredit karbon terbanjiri.



“Isu pusatnya yang merupakan halangan penting bagi kemajuan dalam REDD dan semua yang berhubungan dengan pemanasan global adalah Amerika Serikat tidak masuk ke dalam permainan internasional,” Stephan Schwartzman, wakil penulis dari makalah orisinil mengenai pengurangan terkompensasi dari emisi penggundulan hutan, mengatakan. “Amerika Serikat belum secara nyata memulai pengurangan emisinya maupun menciptakan sistem tutup-dan-tukar. Selama itu adalah kasusnya, pembuat kebijakan Eropa bisa dibenarkan akan kekhawatiran mereka dalam menjaga integritas pasar karbon mereka.”



Pelaku kecil penggundulan hutan di Suriname (Juni 2008). Foto oleh Rhett Butler.

“Dalam diskusi internasional, di antara beberapa LSM masih ada kesadaran bahwa entah bagaimana, kami dapat menghindari resiko-resiko pasar yang akan mendanai ini semua dengan salah satu versinya pendanaan publik. Namun prioritas negara berubah dan dana publik terbatas,” ujar Schwartzman.



“Mekanisme pasar yang kuat penting bagi ini untuk dapat berjalan. Jika terlalu banyak pengurangan yang baik dan nyata dari penggundulan hutan yang terhindarkan di luar sana, makan kencangkan tutupnya. Sesulit apakah itu?”



William Boyd, profesor dari University of Colorado Law School yang telah bekerja dekat denga isu-isu kebijakan REDD, setuju bahwa sistem tutup ini dapat membantu menghindarkan terbanjirinya pasar. Penelitian Greenpeace yang dirilis di Bonn, memperingatkan bahwa dalam pasar yang tak terbatas, harga karbon dapat jatuh hingga 75 persen.



“Ini bukan perpanjangan dari penyeimbang berbasis-proyek murni,” ujar Boyd. “Sistem sedang berjalan menuju kerangka kerja akuntansi nasional di mana sebuah negara hanya mendapatkan kredit juka mereka mengurangi emisi di bawah garis batas yang secara progresif dapat diturunkan seiring dengan waktu – pada titik tertentu ini bisa saja mencapai tak ada penggundulan hutan. Pada titik tersebut, Anda bertukar antara dua sektor tertutup atau dua sistem tertutup. Ide yang sangat berbeda dari ide penyeimbangan.”






Hutan yang sehat dan hutan yang baru saja dibabat berbatasan dengan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan (Borneo Indonesia) (Februari 2006). Foto oleh Rhett Butler.

Terlepas dari sumber pendanaan pada akhirnya nanti, tidak ada pertanyaan bahwa dana besar perlu untuk dihasilkan untuk mengurangi penggundulan hutan secara efektif. Laporan baru dari Meridian Institute atas nama pemerintah Norwegia memperkirakan bahwa untuk mencapai pengurangan penggundulan hutan sebesar 50 persen pada tahun 2020, REDD membutuhkan komitmen sebesar 2 milyar per tahun di tahun 2010, naik menjadi 10 milyar per tahun di 2014 untuk peningkatan kemampuan, aktivitas kesiapan, dan proyek demonstrasi. Laporan itu menyatakan bahwa pembiayaan dapat berasal dari dana dunia, dibiayai oleh donasi yang dihasilkan dari melelang tunjangan emisi, biaya tambahan bahan bakar, atau bantuan pembangunan. Pangeran Charles telah menyarankan sebuah pendekatan yang berbeda: isu ikatan hutan hujan untuk menyediakan dana darurat.



Di luar uang



Di luar isu pembiayaan, ada titik lain yang diperdebatkan, termasuk bagaimana untuk menetapkan batas dasar, terutama di negara dan wilayah yang telah berhasil untuk menjaga tutupan hutan atau telah mengurangi tingkat penggundulan hutan secara dramatis. Beberapa negara – seperti Kosta Rika – menginginkan kredit atas aksi awalnya, sementara yang lain menginginkan batas dasar yang tinggi untuk menghitung penggundulan hutan potensial, posisi yang mengejutkan mereka yang khawatir akan integritas REDD. Namun seperti yang diungkapkan Kevin Conrad dari Koalisi Negara Hutan Hujan, “Jika kita tidak menyediakan insentif untuk negara-negara yang selama ini telah merawat hutan mereka, daripada untuk diubah, maka hutan-hutan tersebut akan habis.”


Nasional vs. Sub-Nasional



Debat yang semakin memanas mengenai skala dan skup proyek REDD terjadi. Karena beberapa negara diharapkan segera mulai menyiapkan dan menjalankan program REDD nasionalnya, pengembang memulainya dengan proyek-proyek di dalam negara – sebuah pendekatan sub-nasional – yang saat ini siap untuk kompensasi berdasar-pasar. Namun pada nantinya, proyek ini akan diintegrasikan menjadi sistem nasional untuk menghindari kebocoran dan masalah-masalah lainnya. Proses integrasi tetap menjadi perdebatan dan beberapa takut proyek tahap awal tidak akan dikenali di penghitungan tingkat nasional, merampas akses mereka pada pasar pemenuhan yang menguntungkan.

Negosiasi selanjutnya harus mencari jalan keluar apakah akan mencakup emisi dari penggundulan hutan dari ekosistem padat-karbon seperti lahan gambut, yang mana dalam beberapa tahun dapat memberikan kontribusi lebih dari dua milyar ton di emisi. Wetlands International kukuh untuk menjadikan lahan gambut bagian dari pakta iklim – terutama akibat pengumuman baru-baru ini oleh Indonesia bahwa mereka akan membuka jutaan hektar lahan basah berawa untuk perkebunan kelapa sawit. Gerakan ini – memperluas produksi minyak kelapa secara jelas, yang dapat digunakan sebagai bahan mentah untuk bahan bakar bio – dapat memicu jutaan ton emisi dan menghancurkan habitat yang amat penting bagi spesies yang terancam, termasuk orangutan dan harimau Sumatera.



Isu lain – yang dikenal sebagai ketahanan – muncul dari integritas stok karbon hutan dan kapasitas hutan untuk menahan karbon di masa depan. Para kritikus mempertanyakan bagaimana bisa dipastikan bahwa hutan yang dilindungi untuk REDD tidak akan ditebangi, dibakar tanpa sengaja, atau dirusah oleh badai, banjir, atau pun kekeringan, yang mengirangi kapasitasnya untuk menyimpan karbon. Masalah ini cukup signifikan untuk dikenai dampak perkiraan dari perubahan iklim di tempat-tempat seperti Amazon Selatan. Kekeringan di tahun 2005 – yang disebabkan oleh suhu tinggi yang abnormal di Atlantik, bukan el Niño — membunuh jutaan pohon dan menjadikan banyak bagian di Amazon mudah terbakar. Ribuan mil persegi dari hutan berubah menjadi asap, melepaskan lebih dari 100 juta metrik ton karbon ke dalam atmosfer.




Pinggiran bukit yang longsor di Madagaskar (Oktober 2004). Foto oleh Rhett Butler

Pembela REDD mengatakan isu ini bisa diatasi sebagian melalui penjaga keamanan yang sesuai kriteria seperti Voluntary Carbon Standard (VCS) dan Climate, Community, and Biodiversity Standards (CCB) dan juga produk asuransi baru dan penghitungan cagar alam nasional yang ditawarkan oleh Koalisi Negara Hutan Hujan. Namun perlindungan terbaik bisa jadi adalah hutan itu sendiri. Penelitian menyebutkan bahwa pengurangan penggundulan hutan bisa menjadi salah satu dari faktor penting dalam meningkatkan ketahanan hutan pada perubahan iklim.



Teknologi baru, termasuk kelas baru aplikasi remote sensing, dapat menolong ilmuwan dan pengelola hutan untuk memantau hutan dari degradasi. Satelit dan pesawat altitude-tinggi dilengkapi dengan laser dan sensor resolusi tinggi dapat memetakan struktur peta, secara besar meningkatkan akurasi dari estimasi karbon dan juga mendokumentasikan perubahan di stok karbon. CLASLite, aplikasi maju untuk memproses pemantauan penggundulan hutan tropis, dan Google Earth memperluas secara besar-besaran ketersediaan data tutupan hutan bagi ilmuwan, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum.



Masalah pembayaran



Namun pencitraan satelit yang baik tidak akan menyelesaikan masalah rumit yang muncul dari kebutuhan untuk mengatasi penggerak penggundulan hutan secara langsung. Bahwa aktivitas industri saat ini merupakan sebagian besar dari penggundulan hutan, mekanisme REDD yang berhasil berarti membayar agen-agen penggundulan hutan – instansi-instansi kehutanan dan pertanian – untuk menghentikan aktivitas mereka. Konsep tersebut tidak sesuai bagi banyak penggerak lingkungan hidup, namun dalam kasus di mana pemilik lahan berada di dalam hukum, REDD menjadi jalan untuk mendukung para penebang, pengembang perkebunan kelapa sawit, petani skala besar, dan peternak untuk membiarkan hutan mereka tumbuh.


cattle pasture and rainforest in the brazilian amazon



Padang rumput untuk hewan ternak dan hutan di Amazon Brazil (atas), Hewan ternak di jantung kota Mato Grosso (April 2009). Selama dekade terakhir ini, lebih dari 10 juta hektar – area seluas Islandia – telah dibabat untuk peternakan hewan seiring bangkitnya Brazil sebagai eksportir daging sapi terbesar di dunia. Kini pemerintah menargetkan untuk menggandakan pembagian negara akan pasar ekspor daging sapi menjadi 60% di tahun 2018 melalui pinjaman berbunga rendah, ekspansi infrastruktur, dan insentif lain untuk produsen. Kebanyakan dari ekspansi ini diharapkan muncul di Amazon, di mana tanah masih murah dan tersedia. Tujuhpuluh persen dari ekspansi peternakan negara antara 2002 dan 2006 terjadi di wilayah tersebut. Foto oleh Rhett Butler.

“Tanpa intensif ekonomi, hutan yang masih ada akan selalu kalah oleh tekanan dari pasar,” jelas John Carter, peternak Amerika di Amazon Brazil, yang mengetuai Alianca da Terra, sebuah LSM yang bekerja untuk mendorong pelayanan lingkungan di antara produsen sapi di Amazon. “Apresiasi lahan dan nilai produksi pada akhirnya yang akan menentukan penggunaan tanah. Dalam rangka agar REDD dapat berjalan, seluruh pemilik lahan – baik Indian, peternak, atau petani – seharunya diizinkan untuk berpartisipasi.”



Carter percaya bahwa perlindungan hutan – diwajibkan oleh hukum Brazil untuk pemilik lahan di Amazon – seharusnya memenuhi syarat untuk mendapatkan pendapatan di bawah REDD.



Beberapa penggerak lingkungan hidup khawatir bahwa REDD dapat menjadi alat untuk “greenwashing”, di mana perusahaan-perusahaan menutupi perusakan lingkungan mereka dengan membeli kredit REDD. Kekhawatiran ini menyentuh segala debat mengenai “penyeimbangan”, sebuah konsep yang oleh kelompok aktivis seperti World Rainforest Movement dan Rainforest Foundation Inggris dianggap terlalu bermasalah. Membeli kredit REDD, bagaimanapun juga, tidak memberikan perlindungan perusak lingkungan dari kampanye lingkungan dan pencitraan satelit yang bisa diakses. Kelompok ramah lingkungan telah menggunakan Google Earth untuk memantau penggundulan hutan dan aktivitas lainnya.



Kehutanan tetap menjadi masalah yang kontroversial di dalam pembicaraan REDD. Beberapa aktivis lingkungan mengeluh bahwa REDD akan memperbolehkan penebangan selektif di hutan-hutan tua, di ekosistem yang paling beraneka ragam dan padat karbon. Sebagian lain berpendapat sebaliknya bahwa penebangan yang tetap menjunjung keberlanjutan tetap boleh dilakukan sebagai sumber pemasukan dari pengelola hutan, termasuk komunitas pribumi. Laporan terbaru dari International Panel on Climate Change (IPCC) menggarisbawahi nilai dari penebangan berdampak rendah sebagai strategi mitigasi. Namun dampak dari penebangan sebagian besar tergantung oleh peraturan kehutanan dan struktur pemerintah, sebuah wilayah penuh kekhawatiran bagi Ecosystems Climate Alliance (ECA), koalisi delapan kelompok lingkungan dan hak.



Masalah konsumersime, pemerintahan



Environmental Investigation Agency (EIA), anggota dari ECA yang bertugas pada perdagangan internasional dan isu-isu permintaan, percaya bahwa REDD sebaiknya menyatukan peraturan untuk permintaan dalam negara pengkonsumsi, karena penggundulan hutan digerakkan sama kuatnya oleh permintaan pasar di negara industri dan kemiskinan di negara berkembang.



Truk penambang di Malaysia (April 2008). Foto oleh Rhett Butler.

“Kekhawatiran utama saya adalah hingga kita dapat berbicara mengenai masalah permintaan dalam cara yang berarti, kita tidak berbicara mengenai solusi yang nyata,” Direktur EIA Forest Campaigns, Andrea Johnson berkata.



Johnson percaya dana untuk aktivitas tambahan di bawah rancangan UU Waxman-Markey bisa diarahkan langsung menuju implementasi gabungan dari hukum permintaan seperti U.S. Lacey Act, yang digunakan untuk melawan penebangan ilegal dengan mewajibkan perusahaan untuk menghormati hukum lingkungan hidup di negara di mana mereka mendapatkan produk tumbuhan dan alam liar.



Jihan Gearon dari Indigenous Environmental Network, sebuah koalisi hak pribumi, mengatakan, “Mekanisme penyeimbang, termasuk REDD, tidak mengatasi masalah nyata yang menyebabkan perubahan iklim. Penggerak utama perubahan iklim adalah pembakaran bahan bakar fosil dulu dan kini – batu bara, minyak, dan gas – untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tak berkesinambungan dari negara-negara industri, seperti Amerika Serikat. Kita harus membuat prioritas dan berfokus untuk mengubah pola konsumsi tak berkesinambungan ini, yang bertanggungjawab bukan hanya pada perubahan iklim namun juga masalah-masalah lain seperti polusi tanah, air, udara, hewan, dan manusia.”



Bulldozer di ujung hutan hujan tropis (atas), kayu-kayu menunggu untuk diproses dan dikapalkan di Gabon (bawah) (Juni 2006). Foto oleh Rhett Butler.

Pemerintahan juga menjadi masalah penting bagi keberhasilan REDD – tingkatnya berada di prioritas paling awal di antara perancang REDD, namun pemerintahan yang baik sulit diwujudkan di daerah perbatasan di mana kebanyakan penggundulan hutan terjadi. Agensi pengembang memposisikan REDD sebagai kendaraan untuk menyampaikan pelayanan dan perlindungan yang selama ini gagal disediakan oleh sebegitu banyaknya bantuan – pesanan yang sulit untuk inisiatif pelestarian. Meski begitu, REDD paling tidak memiliki dua kelebihan dibanding dengan mekanisme sebelumnya: ia menawarkan manfaat yang luas dan akan berdasarkan performa. Jika sebuah negara gagal mengurangi penggundulanhutannya yang berarti mengatasi penggerak penggundulan hutan, ia tidak akan mendapat apa pun.



Namun rezim pemerintahan baru ini memunculkan pertanyaan lain, terutama di wilayah di mana hak-hak tidak terlalu dipedulikan. Ini penting bagi masyarakat yang dinggal di hutan dan masyarakat pribumi, yang meskipun telah menguasai lahan selama bertahun-tahun atau bergenerasi-generasi bisa tidak memiliki hak formal, atau bahkan hak dasar, pada lahan dan sumber daya. Banyak kelompok takut bahwa peraturan dapat menyebabkan mereka makin tidak diuntungkan, merampas lahan mereka dari mereka dan meniadakan mereka dalam pembayaran karbon. Beberapa menggambarkan skenario yang mengerikan tentang pemindahan paksa oleh tangan-tangan spekulator karbon.



“Proyek REDD tidak dapat menolong masyarakat pribumi dan masyarakat hutan.” ujar Gearon. “Pada kenyataannya mereka melukai komunitas ini dan membawa pergi akses dan hak untuk hutan, wilayah tradisional, dan obat-obatan. Harapan utama kami dan kecemasan kami pada REDD, sama seperti solusi berbasis-pasar lainnya untuk perubahan iklim, adalah mereka akan ditolak karena itu adalah solusi yang salah bagi perubahan iklim.”



Indigenous Environmental Network dan kelompok-kelompok lainnya menginginkan Deklarasi PBB mengenai Hak Masyarakat Pribumi, sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara di dunia di tahun 2007, dimasukkan ke dalam REDD. Namun perancang REDD mengatakan bahwa syarat tersebut tidak bisa dimasukkan karena negosiator dari negara-negara yang belum menandatangani deklarasi tersebut (Kanada, Australia, New Zealand, dan Amerika Serikat) tidak dapat menandatangani perjanjian yang mengikatkan mereka pada perjanjian lain yang belum disahkan oleh negara mereka. Banyak pemimpin asli sedang melobi untuk mendapatkan mandat bahwa seluruh program REDD mengusahakan “persetujuan yang bebas, awal, dan terinformasikan” pada masyarakan lokal.



Namun, meskipun terdapat kekhawatiran ini, konsensus di antara koalisi yang mewakili masyarakat hutan adalah bahwa pelestarian hutan harus dimasukkan dalam kerangka kerja iklim. Beberapa kelompok baknyak mendukung mekanisme pasar, menyadari bahwa mekanisme yang dirancang dengan benar lebih baik daripada status quo.



Surui adalah sebuah contoh. Suku tersebut secara aktif mencari proyek karbonnya sendiri, pertama berfokus pada penghutanan kembali di wilayah yang telah ditebangi secara ilegal, namun kemudian mengeksplorasi REDD sebagai usaha untuk menghasilkan pendapatan untuk mempertahankan rumah hutan mereka. Almir Surui, kepala Surui yang telah menjadi wakil publik bagi suku tersebut mengatakan bahwa pelestarian hutan juga merupakan jalan untuk menjaga kebudayaan di daerah di mana terdapat ikatan kuat antara lahan dan masyarakat.



Namun, dalam mengawali proyek REDD mereka, Surui telah mendapati beberapa halangan, yang mengindikasikan bahwa inisiatif karbon hutan belum dirancang dengan masalah-masalah pribumi. Sebagai contoh, dengan kebajikan untuk menjadi pelayan baik dari hutan mereka, Surui menghadapi masalah yang sama yang dihadapi oleh negara dengan tutupan hutan yang tinggi dan tingkat penggundulan hutan yang rendah: proses REDD tidak memberikan balasan bagi mereka atas kesuksesan mereka menjaga tutupan hutan bahkan ketika hutan-hutan di sekitar cagar alam mereka telah tumbang oleh bulldozer dan penebang.






Kwamalasamutu (“Kwamala”), sebuah desa di Suriname (Juni 2008). Foto oleh Rhett Butler.

“REDD seharusnya meningkatkan pengakuan akan masyarakat pribumi yang telah menjaga keberadaan hutan mereka, bukan menghukum mereka atas pelayanan tersebut,” ujar Vasco van Roosmalen, direktur Tim Konservasi Amazon-Brazil, sebuah LSM yang telah membantu Surui mengembangkan program penjaga-taman pribumi dan peta biokultur dari wilayah mereka. “Surui merupakan penjaga karbon hutan.”



Dan ketika debat terus berlanjut, partisipan tidak duduk di pinggiran – proyek REDD mulai tumbuh di dunia. Meski proyek ini dibatasi pada pasar sukarela (seperti Chicago Climate Exchange) di mana karbon mendapat tempat di hanya sebagian kecil dari harga yang tertera di pasar pemenuhan (E.U. ETS), meski begitu angka ini meningkat karena keinginan perusahaan untuk tampak bertanggungjawab terhadap lingkungan. Bagaimanapun juga melindungi habitat untuk spesies yang terancam dan menyediakan layanan kesehatan serta pendidikan bagi komunitas yang tinggal di hutan mungkin saja lebih menarik konsumen daripada proyek untuk menangkap emisi dari limbah pertanian.



“Jika Anda memiliki pilihan antara kredit karbon yang dihasilkan ketiga peternakan babi komersial mengurangi emisi racun methannya, atau kredit karbon dari hutan alam yang terancam yang memberikan perlindungan bagi gajah, singa, cheetah, jerapah dan 54 spesies mamalia besar lainnya, mana yang akan Anda pilih?” ucap Mike Korchinsky, Penemu dan Presiden dari Wildlife Works, perusahaan yang baru saja menandatangani penjanjian REDD pertama di Kenya.



Proyek Nhambita di Mozambique telah memenangkan persetujuan untuk tingkat transparasi dan manfaat yang diberikan pada masyarakat di daerah-daerah yang teramat miskin. Proyek ini dimulai oleh Envirotrade, kelompok finansial karbon yang berbasis di London.



Anak-anak sekolah di Madagaskar (Oktober 2004). Separuh anak-anak Madagaskar di bawah usia lima tahun kekurangan gizi. Foto oleh Rhett A. Butler.

Philip Powell, pembentuk Envirotrade, menjelaskan: “Proyek Nhambita mempekerjakan lebih dari 150 orang dan memberi kompensasi bagi ribuan petani yang secara sukarela menandatangani persetujuan untuk menghindari kebakaran hutan yang merusak, melestarikan hutan, dan menanami kembali lahan mereka dengan pohon. Tantangan jangka panjang terbesar kami adalah untuk memberikan keuntungan yang signifikan dan pantas langsung ke individu-individu dan komunitas yang merupakan penjaga hutan. Kami percaya jalan terbaik untuk memajukan ini adalah dengan pelaporan yang transparan dan sebuah komitmen untuk memberikan kompensasi yang adil untuk perubahan yang teratur dalam pengelolaan hutan dan lahan.”



Sementara, proyek Juma di kota Amazona Brazil, yang merupakan proyek pertama di dunia untuk mendapatkan Climate, Community and Biodiversity Alliance’s Gold Standard untuk penjagaan keamanan, memberikan kompensasi bagi 6.000 keluarga yang secara sukarela setuju untuk membatasi penebangan hutan. Proyek ini diharapkan mengurangi emisi di sebuah hutan yang terancam sebanyak 190 juta ton karbon dioksida di tahun 2050.



John O. Niles, ahli REDD dengan Tropical Forest Group, sebuah institusi penelitian kebijakan hutan, mengatakan bahwa REDD menawarkan potensi untuk menjadikan dunia lebih sadar tentang isu-isu pribumi.



“REDD akan menggunakan mikroskop untuk masalah ini dan akan jelas lebih baik daripada status quo,” ujarnya. “Selama berdekade-dekade, kapitalis, sosialis, perusahaan swasta, pemerintah, dan operator lokal telah merengsek ke masyarakat tropis, menghabisi hutan, dan berlalu dengan sedikit kepedulian bahwa mereka baru saja menggunduli hutannya. Menurut saya, sistem yang digerakkan oleh PBB mengenai insentif untuk menjaga hutan, sebuah sistem yang diawasi dengan transparasi, dan kekuatan suara pengamat kritis akan mengarah pada hasil yang lebih positif dari waktu ke waktu. Apapun via UNFCCC sepertinya merupakan sebuah peningkatan atas perkebunan hutan, industri penebangan, proyek infrastruktur besar, dan pertanian komersial.”



Dan Nepstad, seorang ekologis yang dulunya di Woods Hole Research Institute namun sekarang berasama Moore Foundation, setuju.



“Sekarang kami memiliki pemimpin negara yang mendengarkan pemimpin pribumi mengenai masalah ini – yang belum didengar.”



Bergerak Maju



Dengan banyak sekali masalah, dapatkah perancang REDD mampu untuk mengembangkan kerangka kerja yang bisa dijalankan? Menurut orang-orang yang terlibat di REDD, itu bisa saja.



Penambangan emas di Peru (Oktober 2005). Foto oleh Rhett Butler.

“Saya pikir, kesempatannya besar jika kita dapat memperoleh persetujuan iklim di Kopenhagen yang mana REDD akan menjadi bagian dari itu,” ujar Tracy Johns dari Woods Hole Research Center. “Semua stakeholder yang telah terlibat dalam proses REDD di beberapa tahun ini – pemerintah, LSM, sektor swasta, masyarakat pribumi – telah melakukan banyak dan membuat banyak kemajuan dalam masalah dan tantangan untuk REDD. Saya pikir, dalam banyak cara, proses negosiasi REDD lebih maju daripada banyak lini negosiasi lain yang masih menuju Kopenhagen.”



Meski detail untuk REDD masih jauh dari selesai dan halangan tetap ada, saat ini tumbuh dukungan untuk pendekatan bertahap yang ditawarkan oleh Koalisi Negara Hutan Hujan dan dimunculkan dalam laporan Meridian untuk pemerintah Norwegia. Di tahap pertama, negara akan menerima dana – melalui FCPF Bank Dunia, Program REDD PBB, atau mekanisme sukarela lainnya – untuk mengembangkan strategi REDD nasional yang mencakup konsultasi dengan masyarakat lokal dan komunitas lokal, penguatan kemampuan, dan proyek awal.



Tahap 2 akan mendukung pembaharuan untuk kepemilikan tanah dan hukum kehutanan, inisiatif pengelolaan hutan yang berkesinambungan, dan pembayaran untuk pelayanan lingkungan untuk komunitas lokal, masyarakat pribumi, dan pihak-pihak lainnya. Pendanaan akan berdasarkan pada performa dan datang dari dana dunia yang dibiayai oleh donasi sukarela, lelang tunjangan emisi, dan kemungkinan pajak karbon dan bahan bakar di beberapa negara.



Kolam hutan hujan di Belize (Mei 2008). Foto oleh Rhett Butler.

Tahap 3 akan memasukkan pemantauan, pelaporan, dan verivikasi tingkat pelaksanaan emisi dibanding tingkat referensi yang disetujui. Ini akan dibiayai oleh penjualan unit REDD di dalam pasar pemenuhan global atau mekanisme pemenuhan non-pasar. Pendukung pendekatan bertahap mengatakan ini akan mengakomodasi mekanisme baik berdasar pasar maupun dana, termasuk ketentuan untuk masyarakat pribumi, menawarkan fleksibilitas yang menjadikan negara dari tingkat yang berbeda kemampuan dapat ikut berpartisipasi, dan mempertimbangkan banyak kekhawatiran akan REDD yang belum terselesaikan.



Bagi para penggerak pelestarian REDD menawarkan harapan terbaik bahwa hutan hujan – termasuk keanekaragaman hayati, pelayanan ekosistem, dan warga setempatnya – dapat diselamatkan.



“REDD diminta untuk melakukan banyak hal – meningkatkan pemerintahan, mempromosikan pembangunan yang berkesinambungan, dan memitigasi perubahan iklim, namun manfaat potensialnya benar-benar bagus, ini adalah sebuah kesempatan yang patut diambil,” ujar Schwartzman, yang makalahnya telah membantu semuanya untuk dimulai.



“Selama hutan bernilai lebih saat mati daripada saat hidup, ini akan menjadi amat sangat sulit, dan mungkin hampir mustahil, untuk melestarikan lebih dari bagian-bagian hutan dunia. Menciptakan nilai ekonomi yang positif untuk hutan hidup adalah sebagian kunci dari solusi untuk krisis pemanasan global.”


Exit mobile version