Site icon Conservation news

UE merupakan Sumber Emisi Gumuk Terbesar Kedua Setelah Indonesia, Menurut Survey Gumuk Dunia

UE adalah sumber emisi karbondioksida dari pengeringan lahan gumuk kedua terbesar dunia, setelah Indonesia, menurut laporan taksiran stok gumuk pertama negara-per-negara.



Penelitian tersebut, dipimpin oleh Wetlands International dan Greifswald University, menemukan bahwa pengeringan lahan basah untuk pertanian, perhutanan, dan ekstrasi gumuk menghasilkan emisi karbondioksida 1,3 milyar ton per tahun. Emisi dari api dan penambangan gumuk (untuk hortikultur dan bahan bakar) menambah jumlah sebanyak 700.000 juta ton per tahun.



Emisi dari degradasi lahan gambut tertinggi ada di Indonesia dengan 500 juta ton per tahun. Lahan gambut Indonesia dengan cepat diubah menjadi pertanian, terutama perkebunan kelapa sawit.



UE – dipimpin oleh Finlandia 950 juta ton), Jerman (32 juta ton), dan Polandia (24 juta ton) – adalah sumber emisi lahan gambut terbesar kedua, karena digunakan untuk pertanian dan perhutanan.



Rusia (160 juta ton) adalah yang ketiga, akibat kebakaran gambut, ekstrasi, dan pengeringan untuk perhutanan dan pertanian. Amerika Serikat adalah yang keempat.


Click to enlarge



Taksiran ini, yang mengestimasi bahwa lahan gambut global mengunci lebih dari 1,4 triliun ton karbon, menemukan bahwa emisi gambut telah meningkat hingga lebih dari seperlima sejak 1990. Kebanyakan peningkatan terjadi di negara-negara berkembang, dengan pertumbuhan tertinggi terjadi di Indonesia, Cina, Malaysia, dan Papua Nugini.



Laporan yang ada menunjukkan bahwa di 15 negara emisi akibat degradasi lahan gambut lebih tinggi dari emisi akibat penggunaan bahan bakar fosil. Sebagai contoh, emisi akibat lahan gambut di Islandia mendekati 800 persen dari emisi bahan bakar fosil. Uganda (793 persen), Mongolia (480 persen), Papua Nugini (433 persen), Guyana (265 persen), dan Indonesia (150 persen) juga memiliki emisi dari lahan gambut lebih tinggi dari bahan bakar fosil.



Laporan tersebut mencatat bahwa emisi lahan gambut saat ini tidak berada di bawah pakta iklim Kyoto dan menyimpulkan bahwa mengurangi degradasi lahan gambut adalah salah satu dari cara yang paling efektif secara biaya untuk membantu mencegah perubahan iklim.



“Mengisi kembali lahan gambut bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak beberapa ratus juta ton karbon dioksida per tahun secara global,” menurut laporan.



Negara berkembang bisa menjadi pihak yang mendapat manfaat dengan persetujuan tentang iklim yang memberikan kompensasi untuk pengurangan emisi dari degradasi lahan gambut.


Exit mobile version