Lebih dari separuh ekspansi kelapa sawit antara 1990 dan 2005 di Malaysia dan Indonesia terjadi dengan hutan sebagai korban, dilaporkan oleh cetakan analisis baru di jurnal Conservation Letters. Pengubahan mempunyai dampak “merusak” pada keragaman hayati regional, ungkap penulisnya.
Dengan menganalisa data dari Organisasi Pertanian dan Makanan PBB (United Nations Food and Agriculture Organization), Lian Pin Koh dan David S. Wilcove dari Princeton University menemukan bahwa 55-59 persen dari ekspansi kelapa sawit di Malaysia dan paling tidak 56 persen di Indonesia terjadi dengan hutan sebagai korban. Karena perkebunan kelapa sawit secara biologis menyengsarakan hutan primer dan sekunder, para peneliti merekomendasikan untuk melarang ekspansi di masa depan pada lahan tanaman yang masih ada dan habitat yang terdegradasi.
Perkebunan kelapa sawit dan hutan yang ditebangi di Borneo. Perkebunan kelapa sawit secara biologis depauperate bahkan dibandingkan denngan hutan yang ditebangi habis-habisan menurut penelitian mengenai burung dan kupu-kupu. |
Di akhir-akhir ini, Malaysia dan Indonesia telah memperluas dengan cepat wilayah lahan untuk perkebunan kelapa sawit: di antara tahun 1990 dan 2005, wilayah perkebunan kelapa sawit di Malaysia berkembang lebih dari dua kali lipat hingga 3,6 juta hektar, di Indonesia wilayah yang ditanami kelapa sawit meluas lebih dari 270 persen hingga 4,1 juta hektar. Pada saat yang bersamaan, wilayah hutan Indonesia menurun hingga 28 juta hektar, sementara Malaysia kehilangan hingga 1,5 juta hektar. Koh dan Wilcove mengkalkulasikan paling tidak 1.704 juta hektar lahan hutan di Indonesia dan 1,04 hektar di Malaysia telah diubah untuk bibit minyak pada periode tersebut.
“Analisis kami mengindikasikan bahwa perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia telah menggantikan hutan dan, pada tingkat yang lebih rendah, lahan tanaman yang telah ada,” tulis mereka.
Menggunakan data tentang burung dan kupu-kupu yang menunjukkan bahwa konversi dari hutan menjadi produsen kelapa sawit menurun dengan curam pada kekayaan spesies, Koh dan Wilcove mengatakan bahwa ekspansi dari perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia berdampak negatif pada keanekaragaman hayati regional.
Melihat bahwa permintaan minyak kelapa diharapkan untuk meningkat secara dramatis di beberapa tahun ke depan, para penulis menyarankan bahwa ekspansi kelapa sawit di kedepannya akan dibatasi pada lahan-lahan yang telah diubah menjadi pertanian atau telah terdegradasi dengan berat. Bahkan hutan yang telah ditebangi – yang menyokong jauh lebih tinggi keragaman biologis dibanding perkebunan – sebaiknya tidak digunakan untuk perkembangan kelapa sawit, mereka menyimpulkan.