Site icon Conservation news

Menyelamatkan Orangutan di Borneo

Udara hangat dan berat, dengan kelembaban tipikal hutan hujan Borneo, saat kelotok, kapal tradisional, kami menyusuri sungai yang airnya berwarna sangat hitam. Karena hitamnya, hingga bisa disamakan dengan tinta. Panggilan parau dari sepasang burung enggang dapat terdengar, mengalahkan suara mesin, saat mereka terbang di atas kepala dengan perhiasan paruh mereka yang besar dan mencolok.



Saya mengamati sekitar hutan rawa purba untuk mencari tanda-tanda kehidupan. Tiba-tiba Thomas memekik, “Di sana, di sekitar palem Nipa. Seekor orangutan jantan dewasa!” Saya melihat ke atas untuk melihat seekor monyet merah raksasa, dengan santai memetik daun-daun segar di dekat pucuk pohon palem di sisi sungai. Dia melihat kami sebelum kembali masuk ke dalam hutan dengan pelan.



Ini adalah orangutan pertama dari banyak orangutan liar yang akan kami temui dalam beberapa hari ke depan. Saya berada di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Selatan, di pulau Borneo. Dengan luas 400.000 hektar (988.000 are), Tanjung Puting adalah wilayah terluas yang dilindungi untuk daerah pesisir tropis dan hutan rawa gemuk di Asia Tenggara. Daerah ini juga menjadi salah satu daerah habitat terbesar yang masih ada untuk orangutan yang mulai terancam, populasi yang semakin menurun dalam beberapa tahun akibat perusakan habitat dan perburuan liar. Orangutan telah menjadi fokus dari upaya yang lebih luas untuk menyelamatkan lingkungan hidup yang alami.



Kami menuju ke Camp Leakey, dinamakan sesuai dengan paleontologis terkenal Kenya Louis Leakey. Di sinilah terdapat pusat Proyek Konservasi Penelitian Orangutan. Didirikan oleh Birute Mary Gladikas, seorang primatologis besar dan pendiri Orangutan Foundation International (OFI), yang proyeknya berusaha untuk mendukung konservasi serta pemahaman orangutan serta habitat hutan hujan, sambil merehabilitasi orangutan yang pernah tertangkap. Proyek Konservasi Penelitian Orangutan adalah tampilan publik dari konservasi orangutan di Kalimantan bagian ini, bagian Borneo di bawah pemerintahan Indonesia.



Borneo, pulau ketiga terbesar di dunia, dulunya adalah rumah bagi beberapa hutan dunia yang megah, dan menakutkan. Dengan daerah pesisir berawa yang dibatasi oleh hutan bakau dan daerah yang bergunung-gunung, kebanyakan dari daerahnya bahkan tak bisa dilewati dan belum dieksplorasi. Dulu, hingga satu abad lalu, daerah terpencil ini dikuasai oleh para dukun dari suku pedalaman.



Di tahun 1980an dan 1990an, Borneo mengalami transisi yang luar biasa. Hutan-hutannya diratakan pada tingkat yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Hutan hujannya berpindah ke negara-negara industri seperti Jepang dan Amerika Serikat dalam bentuk furnitur taman, kertas, dan sumpit. Awalnya, kebanyakan kayu diambil dari pulau yang merupakan bagian Malaysia, di daerah utara Sabah dan Sarawak. Namun kemudian, hutan di bagian selatan Borneo, daerah yang merupakan wilayah Indonesia dan dikenal dengan nama Kalimantan, menjadi sumber utama untuk kayu tropis.




Photo by Rhett Butler.

Saat ini, hutan di Borneo hanyalah merupakan bayang-bayang dari legenda tersebut. Hanya kurang dari separuh hutan hujan asli milik pulau tersebut yang masih tersisa, dan pembangunan sangat mengancam apa yang masih ada. Dengan banyaknya kandungan emas dan mineral, sumber kayu, potensi hidroelektrik, dan rendahnya kepadatan populasi di daerah yang semakin padat, pulau ini tampak sebagai kunci dari masa depan ekonomi Indonesia.


Wilayah sekitar Tanjung Puting, dekat kota Pangkalan Bun, merupakan contoh yang baik apa yang bisa terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak diatur. Wilayah ini dulunya pernah menjadi produsen rotan, tanaman rambat yang digunakan seperti kayu, dan kayu – termasuk kayu besi, meranti, sandalwood, dan ramin – namun ini tak lagi menjadi industri yang berprospek akibat gundulnya hutan. Saat ini kebanyakan dari daerah pedalaman adalah savana dan lahan tanah gemuk kering yang telah dihanguskan oleh kebakaran periodik seperti yang telah membakar hampir 20.000 mil persegi si Borneo tahun 1982-1983 dan 4.000 mil persegi lagi di tahun 1997-1998. Walau ada beberapa pekerjaan di luar perkebunan kelapa sawit, para migran dari Jawa terus saja datang dengan perahu setiap minggunya. Beberapa migran bekerja di sektor informal pertambangan, yang akhir-akhir ini bergeser dari menggali emas – kandungan yang saat ini telah hampir habis – menjadi mencari pasir silica yang digunakan untuk keperluan industri di pabrik-pabrik Cina.



Menurut Galdikas, pertambangan telah membawa dampak yang sangat terlihat pada lingkungan hidup sekitarnya. Sungai Sekonyer yang biasanya berwarna hitam, saat ini berwarna coklat seperti cafe-au-lait dengan banyaknya jumlah sedimen yang terbawa arus dari pertambangan. Gladikas menjelaskan ada kemungkinan bahwa meningkatnya serangan buaya di beberapa tahun terakhir ini – yang juga menimpa turis Inggris di tahun 2002 – bisa dihubungkan dengan berkurangnya visibilitas di dalam sungai. Ia juga prihatin dengan tingginya tingkat merkuri di sungai, sementara kandungan tersebut dianggap merupakan penyebab menurunnya kapasitas mental di bayi yang baru lahir, dan nafkah para nelayan di sekitar kota pinggir sungai Kumai ini tergantung pada ikan lokal sebagai makanan.



Terakhir, para penambang tak lagi menunjukkan keramahan pada turis yang mereka pikir akan mengancam kehidupan mereka dengan keberadaannya. Thomas, pemandu saya yang lahir di pulau Flores di Indonesia namun saat ini telah berada menetap di sini, menceritakan bahwa ia pernah berkonfrontasi dengan para penambang yang marah pada turis karena mengambil foto di daerah penambangan, takut akan kesan negatif yang keluar dapat menyebabkan pemerintah mengambil tindakan keras.



Daya tarik penambangan semakin tampak jelas saat kami beranjak ke hulu. Speedboat melewati kami, mengangkut para penduduk dan penambang dari dan ke daerah penambangan dan desa-desa mereka. Thomas percaya bahwa meningkatnya populasi para penambang dan kedekatan mereka dengan taman-taman nasional adalah suatu keprihatinan.



“Saya kira sebanyak 50 orang pergi ke sana dalam seminggu. Mereka merusak tanah dan air tapi tetap saja pemerintah daerah mengeluarkan ijin, menginginkan hasil pajak namun tidak peduli mengenai kerusakannya,” ucapnya. “Jakarta tidak menyediakan dana yang cukup, jadi pemerintah lokal harus mencari cara untuk mendapatkan uang. Mereka menginginkan uang bahkan jika itu berarti rusaknya hutan dan polusi air.”














Walau penambangan saat ini terus berlangsung di daerah hutan yang telah gundul, masuknya para pekerja tambang menyebabkan digunakannya hutan sebagai bahan bangunan, bahan bakar, dan lahan pertanian.



Paling tidak sampai saat ini monyet ubiquitous proboscis, primata dengan wajah lucu berciri-ciri hidung yang besar, tampaknya tidak terganggu dengan speedboat yang berlalu-lalang. Thomas mengatakan bahwa mereka sebenarnya telah mengubah tingkah laku mereka untuk mengambil keuntungan dari kecenderungan buaya menghindari kendaraan cepat ini. Agar terjaga dari serangan buaya saat mereka menyeberang sungai, para monyet ini biasanya berenang tepat ketika sebuah speedboat baru berlalu. Bila tak ada speedboat yang dapat dimanfaatkan, mereka akan menerapkan strategi ‘guniea pig’ yang lebih beresiko, yaitu mengirim seekor perenang tunggal sebagai umpan. Bila si perenang ini berhasil sampai di seberang dengan aman, seluruh kelompoknya akan menyusul.



Monyet proboscis ini hanyalah satu dari sembilan spesies primata yang ditemukan di Tanjung Puting. Keseluruhannya, kekayaan spesies Borneo ini terdokumentasi dengan baik, dan masih banyak lagi spesies yang belum dikenal oleh ilmu. Pulau ini membawa pengaruh penting bagi Alfred Wallace, seorang naturalis yang memikirkan teori seleksi alam secara independen dan bersama-sama dengan Charles Darwin. Para peneliti sampai saat ini masih saja menemukan spesies yang baru bagi keilmuan. World Wildlife Fund, sebuah organisasi konservasi yang cukup aktif di Borneo, melaporkan bahwa para peneliti menemukan 361 spesies hewan dan 441 spesies tumbuhan antara tahun 1994 dan 2004.



Tahun kemarin, komunitas ilmuwan cukup terpana ketika sebuah perangkap kamera remote berhasil menangkap 2 foto seekor hewan yang tidak dikenal mirip rubah. Spesies ini rupanya sangat jarang hingga bahkan para pemburu lokal pun gagal mengenalinya. Sementara itu, kekayaan tumbuhan pulau ini menjadi rumah bagi spesies dengan khasiat yang fantastis, termasuk sebuah pohon yang menghasilkan sebuah obat – Calanolide A – yang sedang dalam percobaan FDA sebagai anti-HIV. Ironisnya, tumbuhan dengan potensi penyelamat nyawa ini hampir punah akibat penggundulan hutan sebelum ditemukan.



Penemuan yang berurut-urutan dengan ancaman pembangunan yang akan datang ini telah menjadikan Borneo sebagai fokus terbaru dari upaya konservasi. Dengan orangutan yang karismatik sebagai spesies utama untuk mendapatkan area yang dilindungi, organisasi tersebut menekan pemerintah Indonesia untuk mengurangi penebangan dan membatalkan proyek pertanian yang luas dan lebih efektif dalam mengatur taman nasional. Saat ini, kebanyakan fokus ada pada apa yang dikenal dengan “Jantung Borneo” di bagian tengah pulau, namun pekerjaan konservasi yang sedang berlangsung di Tanjung Puting juga memiliki kepentingan mendesak.



Menjadi sepenggal hutan di kawasan hutan gundul, Tanjung Puting menjadi tempat mengungsi bagi primata-primata yang telah jarang serta jenis-jenis lain tumbuhan dan hewan yang tak terkira banyaknya. Yang paling terkenal adalah orangutan, seekor monyet yang dulunya tersebar di seluruh Asia Tenggara namun saat ini hanya terbatas pada sisa populasi yang ada di Sumatera dan Borneo, akibat hilangnya habitat dan perburuan oleh manusia. Orangutan memiliki 97 persen materi genetik kita dan telah dikenal kecerdasannya, yang di beberapa tes dapat disamakan dengan anak manusia berusia 2 tahun.


Di Indonesia, orangutan saat ini terancam dengan perusakan hutan, pemburu yang membutuhkan dagingnya, dan pemburu liar untuk perdagangan hewan ilegal. WWF memperkirakan bahwa sekitar 250 hingga 1.000 orangutan liar ditangkap dan dijual di pasar gelap setiap tahunnya. Dengan total populasi kurang dari 30.000 ekor dan reproduksi yang lambat (orangutan betina jarang melahirkan lebih dari 3 ekor anak selama hidupnya), berkurangnya orangutan tadi mempunyai dampak yang signifikan terhadap keberagaman populasi dan genetis dari spesies tersebut. Beberapa peneliti bahkan takut berkurangnya populasi ini dapat mengurangi kelangsungan hidup genetis dari spesies tersebut dan berujung pada kepunahan.



Gladikas saat ini sedang berusaha membendung resiko tadi dengan mempelajari kebiasaan dari orangutan dan mengenalkan kembali orangutan yang pernah ditangkap ke hutan hujan asli mereka. Programnya adalah yang terbesar dari sejenisnya di dunia dan telah mengenalkan kembali lebih dari 150 orangutan ke hutan di Tanjung Puting. Programnya akan berhasil dengan merehabilitasi orangutan yang ditemukan saat razia atau yang diserahkan kembali secara sukarela pada pihak yang berwenang, biasanya saat orangutan telah jatuh sakit atau tumbuh lebih dari kemampuan pemiliknya untuk memelihara hewan tersebut. (Walau bayi orangutan bisa saja menggemaskan, orangutan yang telah tumbuh dan dewasa adalah hewan yang kuat dan pintar yang mampu berbuat nakal atau bahkan lebih parah.) Saat ini kebanyakan yatim piatu berasal dari perkebunan kelapa sawit. Dengan penggundulan hutan, ibu orangutan yang kelaparan pergi ke perkebunan untuk mencari makanan. Saat tertangkap, mereka dibunuh dan bayinya ditahan untuk dijual ke pasar gelap atau dikembalikan ke yang berwenang, yang akan membawanya ke Pusat Perawatan.



Orangutan yatim piatu dibawa ke Fasilitas Karantina dan Pusat Perawatan Orangutan di kota Pasir Panjung. Dengan 3 dokter hewan selaku staff tetap, ditambah asisten lokal dan sukarelawan yang membawa mereka ke hutan untuk berlatih serta dilengkapi dengan suplai dan peralatan medis, membuat staf-staf di tempat ini bisa menyediakan tingkat perawatan yang sangat baik untuk orangutan, termasuk melakukan operasi maupun perawantan karena penyakit. Namun di balik rehabilitasi fisik, banyak orangutan muda – terutama yang yatim piatu – membutuhkan adaptasi psikologi dan sosial hingga mereka pada akhirnya bisa kembali ke alam bebas dan hidup seperti orangutan pada umumnya.



Karenanya Fasilitas Karantina dan Pusat Perawatan Orangutan memiliki ‘hutan tempat berlatih’ dimana anak-anak orangutan tadi bisa mengembangkan kemampuan aboreal dan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pengganti ibunya yang kerap kali membesarkan mereka seperti anaknya sendiri. Idealnya, para yatim piatu ini akan dikenalkan kembali pada alam liar saat berumur 6-8 tahun.



Biasanya, saat seekor orangutan siap untuk dikenalkan kembali, ia dibawa ke sebuah hutan terpencil di dalam Tanjung Puting. Orangutan tersebut dilepas, namun pisang, rambutan, dan susu akan disediakan di sebuah platform tempat makan, dua kali sehari. Awalnya seekor orangutan yang baru dilepas akan sangat tergantung pada pemberian ini, namun seiring dengan waktu, ia akan menjadi semakin independen. Saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa platform ini saat jam pemberian makan, termasuk satu yang berada di Camp Leakey. Karena saat itu telah lewat musim buah, sejumlah orangutan mulai dari ibu dengan bayi hingga jantan raksasa, muncul, turun dari kanopi dan mengambil makan dari platform kayu.



Pemberian makan ini tak hanya sekedar menyediakan makanan bagi orangutan, tapi juga merupakan cara penting untuk menggapai dan memberikan pengetahuan pada warga lokal, membangun ketertarikan dan apresiasi pada kehidupan alam liar dan ekosistem hutan hujan pada anak-anak dan ornag dewasa. Saat musim puncak, mungkin lebih dari 200 orang berkunjung pada Minggu, membayar sekitar 50 sen per orang untuk melihat orangutan diberi makan. Mereka juga didorong untuk mengunjungi pertunjukan pendidikan, yang menjelaskan tentang ekologi hutan hujan dan kepentingan lingkungan hidup.



Walau program Gladikas telah sukses memperkenalkan kembali 200 orangutan atau lebih, mendukung perlindungan taman, menyediakan alternatif ekonomi bagi warga sekitar, dan mendidik anak-anak sekitar mengenai hutan hujan, pekerjaannya tidaklah mudah. Selama perjalanan, wanita yang kerap dipanggil profesor oleh pengunjung dan staf yang tak bisa menyebutkan namanya dengan benar ini, telah menghadapi perang yang cukup keras mulai dari organisasi konservasi lawan yang mencoba menjatuhkan pekerjaannya guna menjilat petugas pemerintah Indonesia hingga penambang liar dan pengembang kelapa sawit yang mengancam hidupnya.



Menurut Gladikas keadaan memang sulit setelah jatuhnya mantan diktator Suharto, yang menggunakan taktik orang terkuat untuk memerintah negara selama 30 tahun. Tidak adanya perangkat hukum, kerusuhan terjadi, dan taman dimasuki oleh penambang liar yang mengambil banyak ramin, kayu keras berwarna putih digunakan untuk furnitur dan kerai jendela, dari dalam hutan. Siang dan malam, rakit dengan balok-balok kayu mengalir bersama sungai bersamaan dengan ditebangnya ramin yang bisa diakses. Gladikas memperkirakan sekitar 120 juta USD ramin dipindahkan dari taman setiap tahunnya pada masa itu. Thomas mengingatnya dengan baik.




Photo by Rhett Butler.

“Empat hingga lima tahun yang lalu Anda dapat melihat rakit besar dengan balok kayu mengalir ke bawah setiap jam dalam sehari, bahkan di tengah malam,” ucapnya, saat kami mengagumi beberapa tumbuhan raksasa di permukaan tanah. “Sangat mudah untuk memotong pohon. Dengan gergaji mesin dibutuhkan 10 hingga 15 menit dan pohon-pohon besar tumbang. Butuh 70-80 tahun bagi pohon itu untuk tumbuh kembali. Dan itu sangat lambat.”



Namun Thomas berkata bahwa keadaan mulai berubah. “Tahun kemarin, pemerintah sangat ketat dalam mengendalikan penebangan hutan ilegal dan itu sepertinya mulai bekerja. Dengan patroli lokan dan proyek OFI, saya pikir penambangan ilegal mulai jarang saat ini,” jelasnya.



Walau begitu, efek dari penambangan ilegal terhadap taman cukup signifikan. Survey sistem informasi geografi tahun 2004 menemukan bahwa 40 persen dari taman telah kehilangan vegetasinya. Pelanggaran pertanian – terutama pertanian beras dan peternakan udang, pertambangan (emas dan silica), dan perkebunan kelapa sawit yang didirikan mengikuti penebangan – memiliki kontribusi terbesar pada penggundulan hutan.




Tetap, Gladikas berdiri pada tempatnya, mencari dukungan dari organisasi bantuan internasional, sumbangan Orangutan Foundation International dan, yang paling penting, warga sekitar.



Saat masa transisi, Gladikas dan organisasinya OFI mengambil alih manajemen taman tersebut. Dengan dana dari USAID, ia menaruh peringatan “dilarang menebang” di sepanjang sungai dan mendirikan pos-pos penjaga di hutan, saat ini OFI mempekerjakan sekitar 200 orang lokal dalam upaya rehabilitasi dan perlindungan. Penjaga lokal saat ini berpatroli di sungai dan hutan untuk melaporkan penebangan ilegal dan pembukaan hutan. Para penduduk desa menjalankan proyek reboisasi dengan target untuk mengembalikan pohon-pohon di daerah yang gundul di dalam taman tersebut.



Walau begitu, tetap taman ini terancam oleh pelanggaran dan proposal dari pemerintah lokal untuk mengubah sebagian dari taman menjadi perkebunan kelapa sawit. Terpisah dari korupsi kronis, dimana setiap kepala desa bisa dibeli dengan sebuah motor seharga 1.000 USD, pemerintah memang menginginkan pajaknya. Kelapa sawit memang menyediakan pendapatan pajak terbesar bagi pemerintah (dan petugasnya) yang kekurangan uang.



Contohnya saja, ada tekanan yang sangat intens untuk mengubah hutan hujan tadi menjadi perkebunan kelapa sawit. Gladikas prihatin dengan rencana untuk membuat jalur baru bagi sungai utama agar mengalir ke timur dan bukan ke barat, mengeringkan hutan rawa yang ada dan secara efektif membuat lahan untuk pengembangan kelapa sawit.



Saat ini, minyak kelapa adalah industri terpanas di bagian selatan Borneo. Tingginya harga minyak membuat kelapa sawit menjadi terkenal, mendorong harganya hingga 400 USD per ton kubik atau sekitar 54 USD per barrel. Ini membawa pada pembukaan ribuan mil persegi hutan dalam beberapa tahun yang lalu. Di bagian Borneo yang ini, hutan rawa biasanya diubah setelah ditebang kayu-kayu berharganya. Kanal air pun dibangun dan hutan dikeringkan. Pohon-pohon yang tersisa dihancurkan dengan teknik tebang-dan-bakar, dan lahan kemudian ditanami dengan bibit kelapa sawit. Dalam jangka waktu beberapa tahun, kelapa sawit bisa dipanen dan diroses untuk minyak kelapa yang menghasilkan lebih banyak minyak per unit wilayah dibandingkan dengan bibit minyak lainnya. Satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir 6.000 liter minyak mentah. Sebagai pembanding, kedelai dan jagung – hasil yang kerap digembar-gemborkan sebagai sumber bahan bakan biologis yang unggul – hanya menghasilkan sekitar 446 dan 172 liter per hektar.



Photo by Rhett Butler.

Dibalik konversi hutan, dampak kelapa sawit terhadap lingkungan cukup signifikan. Kelapa sawit telah dipercaya dapat menghabiskan nutrisi yang dimiliki tanah, sementara pabrik pembuatan minyak kelapa melepaskan limbah yang merusak dari minyak kelapa, campuran polusi dari batok yang hancur, air, dan residu lemak, ke dalam aliran air di sekitarnya. Lebih jauh lagi, penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk berbasis petroleum secara bebas membuat yakin bahwa kebanyakan pengolahan minyak kelapa tak hanya menyebabkan polusi pada tingkat lokal, namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Perkebunan di Indonesia sangat merusak karenanya setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa sawit kebanyakan ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga beberapa tanaman mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.



“Kelapa sawit adalah tanaman yang sangat buruk untuk orang Indonesia dan lingkungannya,” kata Thomas saat kami berjalan menyeberangi wilayah yang hutan gundul yang panas. “Semua kelapa sawit hanya baik untuk pajak pemerintah dan korupsi.”



Perkebunan kelapa sawit juga mengancam para orangutan yang mendatangi lahan kelapa sawit dan ditembak. Menurut Gladikas, perkebunan yang membatasi wilayah hutan menjadi perhatian tersendiri karena keberadaannya menggoda orangutan, yang biasanya ditembak jika terlihat dan kemudian dimakan oleh para pekerja perkebunan. Tekanan untuk pengembangan kelapa sawit sangat intens sepanjang batas utara dan barat taman tersebut.



Walau ada ancaman-ancaman ini, Gladikas optimis secara hati-hati pada masa depan. Ia berharap meningkatnya bayaran – saat ini 5 USD per hari per orang – yang dibayar oleh turis untuk mengunjungi taman dapat menghasilkan lebih banyak pemasukan dan mendorong pemerintah lokal untuk melihat kemungkinan di ekoturisme.




“Perhatian utama pemerintah lokal adalah pemasukan,” ucap Gladikas, saat seekor orangutan betina dewasa mendekatinya di beranda rumah hutannya. “Jika mereka bisa mendapatkan uang dari melindungi Tanjung Puting untuk turis maka kemungkinan mereka akan melakukannya. Namun saat ini kelapa sawit memberikan pajak terbaik.”



Lebih lagi, proyek lain yang diluncurkan oleh Gladikas dan OFI mungkin dapat merebut hati para petugas.



“Kami telah melakukan banyak hal untuk menunjukkan pemerintah lokal bahwa proyek kami memiliki keuntungan positif untuk warga sekitar. Sebagai contohnya, keberagaman panen kami di dekat Kumai menghindarkan malapetaka bagi sebagian keluarga yang mungkin saja tidak dapat memberi makan diri mereka sendiri setelah kegagalan panen padi,” tambahnya. “Dan seluruh murid sekolah suka datang kemari untuk melihat orangutan. Di hari libur, kami biasanya kebanjiran pengunjung.”



Demi kepentingan orangutan Borneo, mari berharap dia memang benar.

Exit mobile version