Site icon Conservation news

Menebang Hutan Di Borneo

Kayu yang diambil dari Borneo antara tahun 1985 dan 2000 lebih banyak dari Afrika dan Amazon digabungkan – Lisa Curran



Pernyataan di atas adalah bukti tingkat penebangan hutan di Borneo selama sekitar 20 tahun. Pulau ini telah mengalami penebangan hutan paling intensif yang pernah di catat di hutan tropis dengan penebangan yang kadang melampaui 240 meter kubik per hektar (rata-rata di Amazon 23 meter kubik per hektar). Intensitas dari penebangan ini pada akhirnya merusak industri itu sendiri: pasar kayu jatuh, baik di Malaysia dan Indonesia, dalam 15 tahun terakhir ini. Walau begitu, tetap hutan adalah hal penting di pulau tersebut saat ini, terutama di Kalimantan dan Sarawak dimana sebagian besar penduduknya masih bekerja untuk perusahaan penebangan, menghasilkan ratusan juta USD untuk ekonomi lokal. Berikut adalah keterangan singkat mengenai penebangan hutan di Borneo. Untuk informasi lebih lanjut, saya sarankan untuk mencari referensi dari bagian bawah halaman ini.



Sejarah

Penebangan hutan awalnya dimulai di Borneo Malaysia, lalu Kalimantan Indonesia. Kedua negara melihat kesempatan yang mirip dan meningkatkan putaran dengan adanya subsidi dari pemerintah di jalanan dan fasilitas pengolahan dan pinjaman ringan. Penebangan liar sangat tersebar luas di kedua negara.



Malaysia



Pada awal 1990an, paling tidak sepertiga dari eksportir dari Malaysia adalah ilegal, termasuk 40 persen kayunya dikirim ke Jepang. Penebangan liar masih menjadi masalah di Malaysia, walau tak sebanyak di Indonesia. Kebanyakan dari keterlibatan Malaysia dalam perdagangan ilegal kayu saat ini adalah melalui penyelundupan dan perdagangan gelap di negara lain, terutama Indonesia. Perusahaan-perusahaan Malaysia ini terlibat dalam pemanenan ilegal di Kalimantan — kayu kadang kala juga diselundupkan melewati batas negara dan kemudian dikapalkan dengan membawa nama “Malaysian” wood.



Indonesia

Penebangan ilegal adalah masalah yang lebih besar di Indonesia, dimana diperkirakan 70-75 persen dari kayu dipanen secara ilegal, merugikan pemerintah hingga ratusan juta atau bahkan miliar di pajak pemasukan yang hilang. Kalimantan Selatan diperkirakan akan kehilangan pendapatan sebesar 100 juta per tahun dalam bentuk penghasilan karena lebih dari separuh dari produksi kayu dilakukan secara ilegal.



Menurut WWF, penebangan kayu ilegal di Indonesia dimotori oleh beberapa faktor:
Kapasitas perusahaan pemotongan kayu di Indonesia dan Malaysia yang berlebihan. Keduanya memiliki fasilitas untuk mengolah kayu dalam jumlah besar walau produksi kayu sendiri telah menurun sejak masa-masa tenang di tahun 1990an. WWF melaporkan bahwa kedua negara tersebut memiliki kemampuan untuk mengolah 58,2 juta meter kubik kayu setiap tahunnya, sedangkan produksi hutan secara legal hanya mampu mensuplai sekitar 25,4 juta meter kubik. Sisa kapasitasnya digunakan oleh kayu yang ditebang secara ilegal.



Kurangnya kepedulian lokal mengenai penebangan liar. WWF mencatat bahwa kebanyakan orang di Borneo tidak begitu khawatir dengan penebangan liar. Bahkan, kelangkaan pekerjaan berarti bahwa rata-rata orang akan senang bekerja di sektor kehutanan, tak peduli dijalankan secara legal ataupun tidak.



Korupsi dan kepentingan politis lokal.Penebangan, legal maupun ilegal, menciptakan pekerjaan dan menstimulasi kegiatan perekonomian lokal untuk jangka pendek, sesuatu yang hampir tak akan ditolak oleh politikus manapun. Lebih jauh, petugas yang ulet bisa menikmati kehidupan berkecukupan dengan memenuhi kantong mereka dengan keuntungan dari kayu-kayu ilegal. Budaya korupsi ini ditanamkan sejak masa pemerintahan Suharto dan masih mengakar hingga saat ini.



Ekonomi. CIFOR (2004) menyebutkan bahwa kayu legal membutuhkan biaya 85 USD per meter kubik untuk mengirimkannya ke perusahaan pemotongan kayu oleh perusahaan besar, sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh kayu ilegal hanyalah 32 USD. Untuk pemegang ijin skala kecil, biayanya adalah 46 USD dan 5 USD, berturut-turut. Sangat lebih murah untuk menggunakan kayu ilegal. Seperti yang disebutkan oleh WWF, “Keuntungan finansial yang didapat dari penebangan ilegal lebih banyak dibandingkan dari penebangan legal.”



Atas alasan-alasan inilah, usaha untuk menghilangkan penebangan ilegal melalui larangan ekspor dan aturan lain belum bisa dikatakan berhasil. Di tahun 2006, Amerika Serikat menawari Indonesia 1 juta USD untuk menghapuskan penebangan gelap, sesuatu yang sedikit melihat bahwa keempat pemerintah Propinsi Kalimantan secara kolektif merugi lebih dari 1 juta USD dari pendapatan pajak per hari akibat penebangan ilegal.

Exit mobile version